Penyelesaian Sengketa Tanah Wakaf dalam Hukum Islam
PENYELESAIAN SENGKETA TANAH WAKAF
MAKALAH
Penyelesaian Sengketa Tanah Wakaf dalam Hukum Islam
Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah:
Perdata Islam di
Indonesia 2
Dosen Pengampu: H. Suharto, Drs., M.H.
Disusun Oleh :
Nailus
Syarifah (141410000406)
AL-AHWAL AL SYAKHSIYYAH
FAKULTAS SYARI’AH DAN ILMU HUKUM
UNIVERSITAS
ISLAM NAHDHLATUL ULAMA (UNISNU) JEPARA
2017
KATA PENGANTAR
Puji Syukur kami panjatkan
kehadirat Allah SWT, karena atas berkat rahmat dan karunia-Nyalah makalah ini
dapat terselesaikan. Shalawat serta salam semoga selalu tercurah kepada Baginda
Nabi Agung Muhammad SAW beserta keluarganya dan para sahabatnya.
Rasa terima kasih pula
penulis sampaikan kepada dosen pengampu mata kuliah Perdata Islam di Indonesia 2, Bapak H. Suharto,
Drs., M.H. yang senantiasa membimbing, mengarahkan serta memberikan ilmunya .
Adapun tujuan penulisan
makalah ini adalah untuk memenuhi tugas mata kuliah Perdata Islam di Indonesia 2
pada semester ini yang berjudul “Penyelesaian Sengketa Tanah Wakaf Menurut Hukum Islam” Penulis berharap makalah ini dapat memberikan
suatu dampak positif bagi kita semua.
Makalah
ini ditulis berdasarkan dari hasil penyusunan data-data yang penulis peroleh
dari mereferensi buku-buku, serta sumber lain yang membahas tentang Penyelesaian Sengketa Tanah Wakaf Menurut Hukum Islam. Penyusun berharap dengan membaca makalah
ini dapat memberi manfaat bagi kita semua khususnya dalam menambah wawasan kita
dalam mengenal Penyelesaian
Sengketa Tanah Wakaf Menurut Hukum Islam.
Makalah
ini memang jauh dari sempurna, oleh karena itu penyusun mengharapkan kritik dan saran
dari pembaca demi perbaikan arah yang lebih baik.
Jepara, 07 Desember 2017
Penyusun
DAFTAR ISI
Cover ......................................................................................................
Kata Pengantar ....................................................................................... i
Daftar Isi................................................................................................. ii
Bab I Pendahuluan.................................................................................. 1
A. Latar Belakang............................................................................
1
B. Rumusan Masalah....................................................................... 2
C. Tujuan Penulisan......................................................................... 2
Bab II Pembahasan ................................................................................ 3
A. Sebab-sebab Terjadinya Sengketa Tanah Wakaf........................ 3
B. Cara Penyelesaian Tanah Wakaf Menurut Hukum Islam............ 7
Bab III Penutup...................................................................................... 11
A. Kesimpulan.................................................................................. 11
B. Saran............................................................................................ 11
Daftar Pustaka ........................................................................................ 12
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Wakaf
adalah perbuatan hukum yang suci dan mulia, dan sebagai shadaqah jariyah.
Artinya, selama barang yang diwakafkan dapat dimanfaatkan oleh orang yang
membutuhkannya, pahalanya tetap mengalir, meskipun si wakif (orang yang
memberi wakaf) telah meninggal dunia. Wakaf merupakan salah satu ibadah
kebendaan yang penting dan secara ekplisit tidak memiliki rujukan dalam kitab
suci Al-Quran.
Dalam fiqh Islam, wakaf sebenarnya dapat meliputi
berbagai benda,
walaupun berbagai riwayat/hadits menceritakan masalah wakaf ini adalah mengenai
tanah, tetapi berbagai ulama memahami bahwa wakaf non tanah pun boleh saja asal
bendanya tidak langsung musnah/habis ketika diambil manfaatnya.
Wakaf telah mengakar dan menjadi tradisi umat Islam di
manapun juga. Di Indonesia, lembaga ini telah menjadi
penunjang utama perkembangan masyarakat. Hampir semua rumah ibadah, perguruan
Islam dan lembaga-lembaga keagamaan lainnya dibangun di
atas tanah wakaf.
“Hukum
wakaf sama dengan amal jariyah.
Sesuai dengan jenis amalnya maka berwakaf bukan sekedar berderma (sedekah)
biasa, tetapi lebih besar pahala dan manfaatnya terhadap orang yang berwakaf.”
Pahala yang diterima mengalir terus menerus selama barang atau benda yang
diwakafkan itu masih berguna dan bermanfaat. Hukum wakaf dalam islam adalah
sunah.
Harta wakaf pada prinsipnya adalah milik
umat. Dengan demikian, manfaatnya juga harus dirasakan oleh umat. Karena itu,
pada tataran idealnya, maka harta wakaf adalah tanggung jawab kolektif, guna
menjaga keeksisannya. Dengan demikian, maka keberadaan lembaga yang mengurusi
harta wakaf, mutlak diperlukan sebagaimana yang telah dilakukan oleh sebagian
negara-negara Islam. Indonesia masih terkesan lamban dalam mengurusi wakaf,
sekalipun mayoritas penduduknya beragama Islam, dan menempati
ranking pertama dari populasi umat Islam dunia. Implikasi dari kelambanan ini,
menyebabkan banyaknya harta-harta wakaf yang kurang terurus dan bahkan masih
ada yang belum dimanfaatkan.
Namun, dalam wakaf sering terjadi persengketaan terutama
sengketa tanah wakaf. Untuk itu, yang menyebabkan penulis ingin menulis tentang
penyelesaian sengketa tanah wakaf menurut Hukum Islam.
B.
Rumusan Masalah
1. Bagaimana Sebab-sebab
Terjadinya Sengketa Tanah Wakaf?
2. Bagaimana Cara
Penyelesaian Tanah Wakaf Menurut Hukum Islam?
C.
Tujuan Penulisan
1. Untuk Mengetahui Sebab-sebab
Terjadinya Sengketa Tanah Wakaf.
2. Untuk Mengetahui Cara
Penyelesaian Tanah Wakaf Menurut Hukum Islam.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Sebab-sebab
Terjadinya Sengketa Tanah Wakaf
Wakaf
dalam perspektif fikih, didefinisikan sebagai perbuatan hukum menahan benda,
yang dapat diambil manfaatnya tanpa menghabiskan bendanya untuk digunakan di
jalan kebaikan. Hak milik berupa materi, yang telah diwakafkan dianggap sebagai
milik Allah, yang harus dimanfaatkan untuk kepentingan masyarakat, sesuai
dengan tujuan wakaf. Sementara itu, menurut Abu Yusuf sebagaimana yang dikutip
oleh Imbang J. Mangkuto, “wakaf adalah melepaskan kepemilikan individu atas
suatu harta (properti), menyerahkannya secara permanen kepada Allah SWT, dan
mendedikasikan manfaatnya untuk orang lain (Anshori, 2006: 24).
Kompilasi
Hukum Islam, memberikan definisi wakaf melalui Pasal 215, yang menyebutkan
bahwa wakaf adalah perbuatan hukum seseorang, atau kelompok orang atau badan
hukum yang memisahkan sebagian dari benda miliknya, dan melembagakannya untuk
selama-lamanya, guna kepentingan ibadah atau keperluan umum lainnya sesuai
dengan ajaran Islam (Departemen Agama RI, 2003: 18).
Mengenai
sengketa tanah wakaf maka dapat didefinisikan “Sengketa adalah proses
interaksi antara dua orang atau lebih atau kelompok yang masing-masing
memperjuangkan kepentingannya atau objek yang sama, yaitu tanah dan benda-benda
lain yang berkaitan dengan tanah seperti air, tanaman, tambang juga udara yang
berada dibatas tanah yang bersangkutan (Santoso, 2005: 23).”
Secara
umum, ada beberapa macam sifat permasalahan dari suatu sengketa tanah, antara
lain :
1.
Masalah yang
menyangkut prioritas dapat ditetapkan sebagai pemegang hak yang sah atas tanah
yang berstatus hak atau atas tanah yang belum ada haknya.
2.
Bantahan
terhadap sesuatu alasan hak atau bukti perolehan yang digunakan sebagai dasar
pemberian hak.
3.
Kekeliruan /
kesalahan pemberian hak yang disebabkan penerapan peraturan yang kurang atau
tidak benar.
4.
Sengketa atau
masalah lain yang mengandung aspek-aspek sosial (Maria, 2009: 61).
Berdasarkan penjelasan di atas, maka
konflik pertanahan sesungguhnya bukanlah hal baru. Namun, dimensi konflik makin
terasa meluas di masa kini, bila dibandingkan pada masa kolonial. Beberapa
penyebab terjadinya konflik pertanahan adalah :
a.
Pemilikan/penguasaan
tanah yang tidak seimbang dan tidak merata
b.
Ketidakserasian
penggunaan tanah pertanian dan tanah nonpertanian
c.
Kurangnya
keberpihakan kepada masyarakat golongan ekonomi lemah
d.
Kurangnya
pengakuan terhadap hak-hak masyarakat adat atas tanah (hak ulayat)
e.
Lemahnya posisi
tawar masyarakat pemegang hak atas tanah dalam pembebasan tanah (Sutedi, Adrian, 2009: 35).
Mengenai
konflik pertanahan adalah merupakan bentuk ekstrim dan keras dari persaingan.
Secara makro, sumber konflik bersifat struktural misalnya beragam kesenjangan.
Secara mikro, sumber konflik/sengketa dapat timbul karena adanya
perbedaan/benturan nilai (kultural), perbedaan tafsir mengenai informasi, data
atau gambaran obyektif kondisi pertanahan setempat (teknis), atau
perbedaan/benturan kepentingan ekonomi, yang terlihat pada kesenjangan struktur
pemilikan dan penguasaan tanah. Masalah tanah, dilihat dari segi yuridis
merupakan hal yang tidak sederhana pemecahannya. Timbulnya sengketa hukum
tentang tanah, adalah bermula dari pengaduan satu pihak (orang/badan) yang
berisi tentang keberatan-keberatan dan tuntutan hak atas tanah baik terhadap
status tanah ataupun prioritas kepemilikannya dengan harapan dapat memperoleh
penyelesaian secara administrasi sesuai dengan ketentuan peraturan yang
berlaku.
Dalam
Undang-undang, Nomor 41 Tahun 2004, di mana dicantumkan dalam Pasal 16, yang
menyebutkan bahwa harta benda wakaf terdiri dari benda bergerak, dan benda
tidak bergerak. Dengan demikian Undang-undang Nomor 41 Tahun 2004, tidak
membatasi bahwa wakaf hanya diperuntukkan untuk tanah saja, tetapi juga benda
bergerak. Namun dalam praktik yang terjadi di Indonesia, pada umumnya kalau
berbicara tentang wakaf, maka akan dikaitkan dengan tanah.
Kegunaan tanah wakaf adalah
sebagaimana fungsi wakaf pada umumnya, yaitu untuk kemaslahatan umat, namun
secara khusus Undang- Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf mengatur bahwa
peruntukan tanah wakaf adalah tergantung pada ikrar wakaf yang dibuat.
Ikrar wakaf merupakan pengucapan
sah yang diucapkan secara ikhlas untuk menyerahkan hartanya yang akan
dipergunakan di jalan Allah. Oleh karena itu, pihak yang akan memanfaatkan
tanahnya harus melengkapi dengan surat-surat yang berkaitan dengan tanah
tersebut.
Hal tersebut diatur dalam Pasal 9
ayat (5) Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977, yaitu sebagai berikut:
”Dalam melaksanakan ikrar seperti
dimaksud ayat (1), pihak yang mewakafkan tanah diharuskan membawa serta dan
menyerahkan kepada pejabat tersebut surat-surat berikut: (a) sertifikat hak
milik atau bukti pemilikan tanah lainnya, (b) surat keterangan dari kepala desa
yang diperkuat oleh kepala kecamatan setempat yang menerangkan kebenaran
kepemilikan tanah dan tidak tersangkut sesuatu perkara, (c) surat keterangan
pendaftaran tanah, (d) izin dari bupati/walikotamadya kepala daerah c.q. Kepala
Subdirektorat Agararia setempat”.
Apabila memperhatikan ketentuan
Pasal 9 ayat (5), Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 berikut
penjelasannya di atas, tersirat bahwa Akta Ikrar Wakaf merupakan akta otentik
yang dapat dipergunakan dalam penyelesaian sengketa yang mungkin timbul
dikemudian hari, tentang tanah yang diwakafkan. Dengan perkataan lain, Akta
Ikrar Wakaf merupakan alat bukti atas pelaksanaan wakaf sekaligus menerangkan
status tanah wakafnya.
Hal pokok yang sering menimbulkan
permasalahan perwakafan dalam praktik adalah masih banyaknya wakaf tanah yang
tidak ditindaklanjuti dengan pembuatan akta ikrar wakaf. Pelaksanaan wakaf yang
terjadi di Indonesia masih banyak yang dilakukan secara agamis atau mendasarkan
pada rasa saling percaya. Kondisi ini, pada akhirnya menjadikan tanah yang
diwakafkan tidak memiliki dasar hukum, sehingga apabila dikemudian hari terjadi
permasalahan mengenai kepemilikan tanah wakaf penyelesaiannya akan menemui
kesulitan, khususnya dalam hal pembuktian.
Hal lain yang sering menimbulkan
permasalahan dalam praktik wakaf di Indonesia adalah dimintanya kembali tanah
wakaf oleh ahli waris wakif dan tanah wakaf dikuasai secara turun temurun oleh
Nadzir yang penggunaannya menyimpang dari akad wakaf.
Dalam praktik sering didengar dan
dilihat adanya tanah wakaf yang diminta kembali oleh ahli waris wakif setelah
wakif tersebut meninggal dunia. Kondisi ini pada dasarnya bukanlah masalah yang
serius, karena apabila mengacu pada ketentuan peraturan perundang-undangan,
wakaf dapat dilakukan untuk waktu tertentu, sehingga apabila waktu yang
ditentukan telah terlampaui, wakaf dikembalikan lagi kepada ahli waris wakif.
Namun khusus untuk wakaf tanah, ketentuan pembuatan akta ikrar wakaf telah
menghapuskan kepemilikan hak atas tanah yang diwakafkan sehingga tanah yang
diwakafkan tersebut tidak dapat diminta kembali.
Selanjutnya, mengenai dikuasainya
tanah wakaf oleh Nadzir secara turun temurun dan penggunaannya yang tidak
sesuai dengan ikrar wakaf, hal ini dikarekan kurangnya pengawasan dari instansi
yang terkait. Ahli waris atau keturunan Nadzir beranggapan bahwa tanah tersebut
milik Nadzir sehingga penggunaannya bebas sesuai kepentingan mereka sendiri.
Hal ini akibat ketidaktahuan ahli waris Nadzir.
C.
Cara Penyelesaian Tanah Wakaf Menurut
Hukum Islam
Pasal
62 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf menegaskan bahwa
penyelesaian sengketa perwakafan ditempuh melalui musyawarah untuk mufakat.
Apabila penyelesaian sengketa melalui musyawarah tidak berhasil, sengketa dapat
diselesaikan melalui mediasi, arbitrase, atau pengadilan. Selanjutnya
disebutkan dalam penjelasannya, bahwa yang dimaksud dengan mediasi adalah
penyelesaian sengketa dengan bantuan pihak ketiga (mediator) yang disepakati
oleh pihak yang bersengketa. Dalam hal mediasi tidak berhasil menyelesaikan
sengketa, maka sengketa tersebut dapat dibawa kepada badan arbitrase syariah.
Dalam hal badan arbitrase syariah tidak berhasil menyelesaikan sengketa, maka
sengketa tersebut dapat dibawa ke Pengadilan Agama dan/atau Mahkamah Syariah.
Hal tersebut sejalan dengan Pasal 49 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989
sebagaimana telah diamandemen dengan Undang Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang
Peradilan Agama, yang menyebutkan “Pengadilan Agama bertugas dan memeriksa,
memutus dan menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama antara orang orang
yang beragama Islam, di bidang : perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, shadaqah; dan ekonomi
Syari’ah (Khosiy'ah,
2010: 82).
Mengenai
teknis dan tata cara pengajuan gugatan ke Pengadilan Agama, dilakukan menurut
ketentuan yang berlaku. Kompilasi Hukum Islam menegaskan bahwa “Hakim dalam
menyelesaikan perkara-perkara yang diajukan kepadanya wajib memperhatikan
dengan sungguh-sungguh nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat, sehingga
putusannya sesuai dengan rasa keadilan”. Kompilasi Hukum Islam tidak mengatur
masalah ketentuan pidana dalam perwakafan, namun demikian bukan karena
kompilasi tidak setuju adanya ketentuan ini, akan tetapi lebih karena posisi
kompilasi adalah merupakan pedoman dalam perwakafan. Oleh karena itu apabila
terjadi pelanggaran pidana dalam perwakafan, maka penyelesaiannya dapat
didasarkan pada Pasal 67 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004, yaitu:
(1) Setiap
orang yang dengan sengaja menjaminkan, menghibahkan, menjual, mewariskan,
mengalihkan dalam bentuk pengalihan hak lainnya harta benda wakaf yang telah
diwakafkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 atau tanpa izin menukar harta
benda wakaf yang telah diwakafkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41, dipidana
dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau pidana denda paling
banyak Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
(2) Setiap
orang yang dengan sengaja mengubah peruntukan harta benda wakaf tanpa izin
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44, dipidana dengan pidana penjara paling lama
4 (empat) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp. 400.000.000,00 (empat
ratus juta rupiah).
(3) Setiap
orang yang dengan sengaja menggunakan atau mengambil fasilitas atas hasil
pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf melebihi jumlah yang ditentukan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12, dipidana dengan pidana penjara paling lama
3 (tiga) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp. 300.000.000,00 (tiga
ratus juta rupiah).
Selain
sanksi pidana tersebut di atas, juga terdapat sanksi administrasi, yaitu
sebagaimana tercantum dalam Pasal 68 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004, yaitu
sebagai berikut:
(1) Menteri
dapat mengenakan sanksi administratif atas pelanggaran tidak didaftarkannya
harta benda wakaf oleh lembaga keuangan syariah dan PPAIW sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 30 dan Pasal 32;
(2) Sanksi
administrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:
a. peringatan
tertulis:
b.
penghentian sementara atau pencabutan izin
kegiatan di bidang wakaf bagi lembaga keuangan syariah;
c.
penghentian sementara
dari jabatan atau penghentian dari jabatan PPAIW.
(3) Ketentuan
lebih lanjut mengenai pelaksanaan sanksi administrative sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pengaturan
dalam Peraturan Pemerintah dimaksud pada Pasal 68 ayat (3) Undang-Undang Nomor
41 Tahun 2004 tersebut adalah Pasal 57 Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006
yang menyatakan sebagai berikut :
(1) Menteri
dapat memberikan peringatan tertulis kepada LKS-PWU yang tidak menjalankan
kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25.
(2)
Peringatan tertulis
paling banyak diberikan 3 (tiga) kali untuk 3 (tiga) kali kejadian yang berbeda.
(3)
Penghentian sementara
atau pencabutan izin sebagai LKS-PWU dapat dilakukan setelah LKS-PWU dimaksud
telah menerima 3 kali surat peringatan tertulis.
(4)
Penghentian sementara
atau pencabutan izin sebagai LKS-PWU dapat dilakukan setelah mendengar
pembelaan dari LKS-PWU dimaksud dan/atau rekomendasi dari instansi terkait.
Apabila
diuraikan, muatan pasal-pasal pelaksanaan wakaf yang apabila dilanggar
dikenakan sanksi adalah :
a. Wakif
yang mewakafkan bendanya tidak diikrarkan secara tegas, dihadapan PPAIW kepada
nadzir tanpa disaksikan dua saksi;
b.
Nadzir tidak terdaftar
di Kantor Urusan Agama Kecamatan setempat;
c.
Nadzir tidak mengurus
dan mengawasi kekayaan wakaf dan hasilnya;
d.
Nadzir tidak membuat
laporan secara periodik;
e.
Wakif tidak datang
dihadapan PPAIW untuk ikrar wakaf;
f.
PPAIW tidak mengajukan
permohonan kepada Bupati/Walikotamadya c.q. Kepala Badan Pertanahan untuk
mendaftarkan perwakafan;
g.
Kepala Badan Pertanahan
Kabupaten/Kotamadya atas nama Bupati/ Walikotamadya tidak mencatat permohonan
pencatatan tanah wakaf;
h.
Perubahan peruntukan
tanah wakaf tanpa persetujuan Menteri Agama.
Untuk
mengetahui praktik penyelesaian sengketa wakaf, berikut disampaikan terlebih
dahulu salah satu contoh kasus sengketa wakaf yang terjadi di Kabupaten Kudus,
yaitu antara Raginah sebagai wakif dan Ridwan sebagai Nadzirnya. Seorang
penduduk Desa Beru Genjang Kecamatan Undaan Kudus yang tidak mempunyai
keturunan bernama Raginah mewakafkan sebidang tanah berupa tanah sawah terletak
di blok Pereng. Tanah wakaf tersebut diterima dan dikelola untuk keperluan
masjid yang bernama masjid Al Mubarok sedang yang bertindak sebagai Nadzir pada
waktu itu adalah Ridwan. Sejak diikrarkan lafal wakaf tanah oleh wakif yang
bernama Raginah pada tahun 1974 dengan diketahui dan disaksikan oleh adik
kandung Raginah, maka wakaf oleh Raginah dinyatakan sah. Dalam perkembangannya,
setelah Raginah selaku wakif dan Ridwan selaku Nadzir meninggal dunia, ahli
waris Ridwan menjual tanah wakaf tersebut kepada pihak ketiga. Dari pihak
Raginah, yaitu kedua adik kandungnya yang pernah menjadi saksi merasa keberatan
atas jual beli tanah yang diwakafkan oleh Raginah. Kedua adik Raginah tersebut
sempat berkonsultasi kepada kepala desa dan tokoh agama setempat untuk
menyelesaikan permasalahan tersebut secara kekeluargaan, namun karena ahli
waris Ridwan bersikukuh bahwa tanah yang dijualnya bukan tanah wakaf tetapi hak
milik almarhum Ridwan, maka pihak Raginah mengajukan gugatan melalui Pengadilan
Agama Kudus, yang pada akhirnya sesuai dengan bukti-bukti dan fakta yang ada
Pengadilan Agama Kudus memenangkan gugatan kedua adik kandung Raginah.
Mendasarkan pada contoh kasus tersebut di atas, dapat diketahui bahwa dalam hal
terjadi sengketa wakaf, upaya penyelesaian yang dilakukan pertama-tama adalah
melalui upaya musyawarah, baru apabila kemudian dari musyawarah yang dilakukan
belum menemukan titik temu, penyelesaiannya diupayakan melalui Pengadilan
Agama.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Adapun kesimpulan yang dapat penulis sampaikan dalam makalah ini adalah:
1.
Alasan atau penyebab terjadinya sengketa
wakaf adalah belum tertampungnya pengaturan tentang tanah wakaf yang banyak
terjadi di Indonesia pada Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004, masih banyaknya
wakaf tanah yang tidak ditindaklanjuti
dengan pembuatan akta ikrar wakaf, dimintanya kembali tanah wakaf oleh ahli
waris wakif dan tanah wakaf dikuasai secara turun temurun oleh Nadzir.
2.
Jadi dalam hal
terjadi sengketa wakaf, upaya penyelesaian yang dilakukan pertama-tama adalah
melalui upaya musyawarah, baru apabila kemudian dari musyawarah yang dilakukan
belum menemukan titik temu, penyelesaiannya diupayakan melalui Pengadilan Agama.
B.
Saran
Demikianlah
yang dapat penulis sampaikan, apabila ada yang kurang mohon diberikan kritik
dan saran, agar lebih baiknya pembuatan karya ilmiah lainnya.
DAFTAR PUSTAKA
Anshori, Abdul Ghofur. 2006. Hukum dan Praktek Perwakafan di
Indonesia. Yogyakarta:
Pilar Media.
Departemen Agama RI. 2003. , Kompilasi
Hukum Islam di Indonesia, Jakarta:- .
Khosiy'ah, Si’ah. 2010. wakaf dan hibah perspektif ulama
fiqh dan perkembangannya di Indonesia. Bandung : Pustaka Setia.
Santoso, Urip. 2005. Hukum Agraria
dan Hak-hak atas Tanah. Jakarta:
Prenada Media.
Sumardjono, Maria, SW. 2009. Mediasi
Sengketa Tanah. Jakarta:
Penerbit Buku Kompas.
Sutedi, Adrian. 2009. Peralihan Hak atas Tanah dan Pendaftarannya. Jakarta: Sinar Grafika.
Undang-Undang RI Nomor 41 Tahun 2004 Tentang
Wakaf
Komentar
Posting Komentar