Resensi buku akhlak tasawuf karya Dr. Jamil M.A.

RESENSI BUKU AKHLAK TASAWUF 

Karya: Dr. H. Jamil M.A.






RESENSI BUKU AKHLAK TASAWUF
Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Tasawuf
Dosen Pengampu : KH. Barowi TM. M.Ag
                                                                 








Disusun Oleh:
Nailus Syarifah (141410000406)



 
AL AHWAL AL SYAKHSHIYYAH
FAKULTAS SYARI’AH dan ILMU HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NAHDLATUL ULAMA (UNISNU) JEPARA 2015

1.     IDENTITAS BUKU
-          Judul buku                                    : Akhlak Taswuf
-          Penulis                               : Dr. H.M. Jamil, MA.
-          Penerbit                             : Referensi
-          Kota Terbit                        : Jakarta
-          Tahun Terbit                      : 2013
-          Jumlah Halman                 : xii+244 Hlmn.
-          Cetakan                             : I
-          ISBN                                 : 978-979-915167-4
2.     ISI
-         KEPENGARANGAN
-         SINOPSIS/ULASAN ISI BUKU
BAB I
AKHLAK
A.    Pengertian Akhlak
Secara bahasa kata akhlak diambil dari kosakata bahasa Arab. Kata akhlak merupakan isim mashdar (bentuk infinitive) dari kata akhlaqa, yukhliqu, yang berarti al-thabi’at (tabiat), al-‘adat (kebiasaan), al-maru’ah (peradaban baik), atau al-din (agama).
Secara istilah, terdapat beberapa pendapat ulama’ mengenai pengertian akhlak yang dapat kita ketahui bahwa perbuatan yang dikategorikan sebagai akhlak yang baik itu haruslah memenuhi kriteria perulangan (kontinuitas) sehingga seseorang yang hanya melakukan perbaikan sekali waktu saja tidak lantas dikatakan telah berakhlak baik. Selain itu, akhlak yang baik harus dilakukan tanpa ada paksaan.  Menurut Abudin Nata, ada 5 ciri-ciri yang dikandung dari sebuah pengertian akhlak yang didefinisikan oleh para ulama’ adalah:
1.      Akhlak merupakan perbuatan yang tertanam di dalam jiwa seseorang secara kuat.
2.      Akhlak tersebut dilakukan secara mudah tanpa memerlukan pemikiran.
3.      Akhlak dilakukan tanpa paksaan atau tekanan dari luar diri seseorang.
4.      Akhlak tersebut dilakukan dengan sungguh-sungguh.
5.      Akhlak juga dilakukan karena ikhlas semata-mata mengharapkan ridha Allah dan bukan pujian manusia.
B.     Ruang Lingkup Akhlak
1.      Akhlak terhadap Khaliq (Pencipta)
Sikap yang ditujukan oleh manusia kepada pencipta alam semesta termasuk dirinya sendiri yang dimanifestasikan dalam bentuk kepatuhan menjalankan segala perintah Allah dan menjauhi laranganya.
2.      Akhlak terhadap Makhluk
Akhlak terhadap Allah sebagai Pencipta tidak bisa dipisahkan dari akhlak manusia kepada makhluk lain terutama kepada sesama manusia. Dalam konteks hubungan sebagai sesama muslim, maka Rasulullah mengumpamakan bahwa hubungan tersebut sebagai sebuah anggota tubuh yang terkait dan merasakan penderitaan jika salah satu organ tubuh tersebut mengakami sakit. Akhlak terhadap sesama manusia juga harus ditunjukan kepada orang yang bukan Islam di mana mereka ini tetap dipandang sebagai makhluk Allah yang harus disayangi. 
C.    Akhlak Kepada Lingkungan
Allah menciptakan lingkungan dimuka bumi ini diperuntukan untuk kepentingan semua manusia dalam rangka memudahkan dirinya dalam beribadah kepada Allah.
Di surat al-Qashash ayat 77 Allah memberikan peringatan kepada manusia untuk tidak melakukan kerusakan di muka bumi karena dia tidak menyukainya. Lingkungan harus dijaga dengan sebaik-baiknya oleh manusia. Pemanfaatan lingkungan tanpa memerhatikan unsur pelestariannya  justru akan menyusahkan manusia itu sendiri. Akhlak terhadap lingkungan harus dilakukan demi kemaslahatan manusia sendiri.
D.    Perbedaan Akhlak, Etika dan Moral
Menurut Abudin Nata, perbedaan antara akhlak, etika dan moral adalah jika akhlak merupakan perbuatan yang tertanam di dalam jiwa seseorang secara kuat sehingga menjadi bagian dari pribadinya.
Etika itu membahas perbuatan manusia namun bersumber pada akal pikiran dan filsafat, moral merupakan sebuah ukuran baik dan buruk yang diakui oleh sebuah komunitas masyarakat atau kelompok tertentu yang menyepakatinya baik didasarkan pada agama maupun tidak.
Menurut Sholihin, perbedaan antara moral dan etika adalah jika moral atau moralitas digunakan untuk perbuatan yang sedang dinilai sedangkan etika digunakan  untuk pengkajian sistem yang ada.
Tolak ukur moral adalah norma-norma yang tumbuh dan berkembang di masyarakat, sedangkan tolak ukur etika adalah pikiran atau rasio pikiran manusia. Dengan demikain, etika lebih berada pada tataran konsep dan bersifat pemikiran filosofis.
E.     Kajian Akhlak dalam Lintasan Sejarah
Kajian akhlak telah menjadi fokus perhatian manusia sejak dahulu. Data sejarah menunujukan bahwa kajian akhlak yang terdokumentasi dapat ditemukan pada sejarah Yunani. Kajian-kajian akhlak berkutat pada masalah etika, moral dan tingkah laku manusia yang bersumber pada pemikiran manusia atau tokoh-tokoh yang mengusungnya. Diantara tokoh-tokoh dalam pembahasan mengenai wacana akhlak atau etika antara lain: Socrates (469-399 SM), Plato (427-347 SM), Aristoteles (394-322 SM ).
Era kajian etika berbasis agama dimulai pada abad ke-3 di Eropa yang ditandai dengan menyebarnya agama kristen dengan kitab Injil atau sebagai sumbernya. Kajian etika atau akhlak di era Islam lahir setelah Islam datang ajaran yang menyempurnakan keberadaan agama-agama sebelumnya. Kedatangan Islam sekaligus memposisikan keberadaan kitab suci al-Qur’an sebagai satu-satunya sumber akhlak yang otoritatif bagi manusia. Tokoh-tokoh yang berkomitmen pada wacana akhlak sesudah periode Rasulullah SAW, dan sahabat adalah al-Ghazali, al-Farabi, Ibn Sina, Ibn Miskawaih.
F.     Kedudukan Akhlak dalam  Ajaran Islam
Banyak yang mengkaitkan bahwa akhlak dengan konsep ihsan dalam Islam sebagaimana diketahui bahwa ajaran Islam terdiri dari 3 komponen yaitu Islam, Iman, dan Ihsan. Konsep ini sendiri didasarkan pada hadits Nabi yang menceritakan peristiwa datangnya Jibril kepada Rasul. Ketiga komponen dalam hadits di atas baik Islam, Iman dan Ihsan saling terkait dan dapat dianggap sebagai sebuah tindakan akhlak yang terpuji.
G.     Akhlak Terpuji dan Tercela
Akhlak dapat dibagi 2 jenis yaitu akhlak terpuji (mahmudah) dan akhlak tercela (madzmumah) mencakup karakter-karakter yang diperintahkan Allah dan Rasul untuk dimiliki dan dijauhi, seperti: Rasa belas kasihan lemah lembut (ar-Rahman), Pemaaf dan mau bermusyawarah (al-afwu), Sikap mau dipercaya dan dapat menepati janji (amanah), Manis muka dan tidak sombong (anisatun), Tekun dan merendahkan diri di hadapan Allah SWT (khusyu’ dan tadharu’), Sifat malu (haya’), Persaudaraan dan perdamaian (al-ikhwan dan al-islabi), dengki (hasad), Berbuat kerusakan, Berlebih-lebihan (al-israf), berbuat zalim (al-zulm), dan berbuat dosa besar (al-fawahisy)
H.    Kriteria Seseorang telah mencapai tingkatan Akhlak Terpuji
Menurut Imam al-Ghazali ukuran yang digunakan dalam hal menentukan tingkat akhlak yang dimiliki seseorang dapat dipakai berdasarkan kriteria induk akhlak ada 4 sikap yaitu: Bijaksana (al-hikmah), Menjaga kesucian diri (al-iffah), Berani (al-syaja’ah), adil (al-‘adl).
I.       Hubungan Akhlak dan Tasawuf
Baik tasawuf dan akhlak memiliki hubungan yang kuat. Tujuan akhlak pada dasarnya baru merupakan tujuan awal dari tasawuf. Tasawuf sendiri pada hakikatnya bertujuan untuk mencapai keridhaan Allah swt. Sebagian ulama’ sufi juga mengatakan bahwa akhlak merupakan awal perjalanan tasawuf, sedang tasawuf merupakan akhir perjalanan akhlak. Untuk mencapai tujuan tadi, para ahli tasawuf menyarankan agar manusia selalu berupaya untuk memperbaiki akhlak dengan cara melatih dirinya (riyadhah).
J.      Urgensi Akhlak di Jaman Modern
Untuk konteks modern, akhlak memiliki urgensi teramat penting. Kehidupan modern yang cenderung bisa menyebabkan dehumanisasi (tercerabutnya niali-nilai kemanusiaan) dan alienasi (merasa terasing dalam kehidupan) memerlukan terapi konkret berupa keharusan manusia untuk dekat kepada Allah dan memperbaiki hubungan sosialnya dengan manusia lain. Dalam hal ini, maka akhlak menjadi sebuah hal yang harus dimiliki.   
K.    Akhlak dalam Kehidupan Keluarga
Keluarga sebagai organisasi sosial terkecil memainkan peranan yang signifikan dalam meyebarkan nilai-nilai akhlak kepada masyarakat. Islam menekankan pentingnya peran sebuah keluarga sebagai ketenangan jiwa bagi anggotanya sekaligus pembinaan akhlak mereka. Keluarga yang dimulai dengan sebuah ikatan suci antara laki-laki dan perempuan diharapkan akan menjadi sebuah wadah pembentukan generasi Islami yang memiliki akhlak mulia.

BAB 2
Pengertian, Dasar-Dasar dan Sejarah Asal Usul Tasawuf
A.    Memahami Arti dan Tujuan Tasawuf
Ada sejumlah pengertian yang telah dikemukakan oleh para ahli mengenai arti kata tasawuf, adalah berasal dari kata shufi, ahl al-shuffah (nama yang diberikan kepada sebagian fakir miskin dikalangan orang-orang Islam pada masa awal Islam), shafa (suci), shaff (barisan), ash-shufu (bulu atau wol kasar), saufi (hikmah atau kebijaksanaan), dan sophos (kondisi jiwa yang senantiasa cenderung kepada kebenaran).
Adapun tujuan tasawuf, sebagaimana yang dikemukakan oleh Abd Hakim Hasan dalam kitabnya Al-Tashawwuf fi al-Syi’ril al-’Arabi adalah sampai pada Zat yang Haqq atau Mutlak, atau bahkan bersatu dengan Dia.
A.    Dasar-Dasar dan Ajaran Tasawuf dalam Al-Qur’an
1.      Didalam al-Qur’an ditemukan perintah beribadat dan berdzikir dalam (Q.S. Al-Anbiya’:25, Q.S Al-Anfal:45, Q.S Ali Imran:191).
2.      Tentang ketenangan jiwa karena berdzikir (Q.S. Ar-Ra’du:28).
3.      Tentang takut dan harap dapat dilihat dari firman-firman Allah (Q.S. Al-Maidah:83, Az-Zumar:23, As-Sajdah:16).
4.      Tentang ibadah dikesunyian malam dan kwantitasnya, (QS. Al-Isra’:79, QS. Adz- Dzariyat:17-18).
5.      Tentang bagaimana seharusnya melihat kehidupan dunia (QS. Fathir: 5).
6.      Al-Qur’an mengajarkan agar orang-orang yang beriman senantiasa melakukan upaya-upaya perbaikan diri (taubat) didalam QS. At-Tahrim: 8)
7.      Al-Qur’an juga mengajarkan agar tidak hidup serakah sebab dunia tidak ada apa-apanya (qalil) jika dibandingkan dengan kehidupan akhirat di dalam QS. An-Nisa’: 77.
8.      Di dalam Al-Qur’an juga ditemukan ajaran-ajaran untuk berserah diri hanya kepada-Nya (al-tawakkal), bersyukur terhadap pemberian-pemberian Tuhan, bersabar serta Ridha terhadap-Nya di dalam QS. At-Thalaq: 3, QS. Ibrahim: 7, QS. Al-Mukmin: 55, QS. Al-Maidah:119.
9.      Berhubungan dengan kedekatan Tuhan dengan manusia, di dalam QS. Al-Baqarah: 186, QS. Qaf:16.
B.     Dasar-Dasar dari Sunnah Rasulullah SAW
Ditemukan sejumlah hadits yang yang memuat ajaran-ajaran tasawuf, diantaranya adalah hadits-hadits berikut:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم اتقوا فراسة المؤمن فانه ينظر بنور الله.
Artinya:
“Rasulullah saw. Bersabda: Takutilah firasat orang mukmin karena ia memandang dengan nur Allah.” (Riwayat Bukhari).
C.   Kontroversi Asal Usul Tasawuf
1.      Unsur Nashrani
Dari barbagai literature tasawuf terlihat bahwa ada beberaa hal yang dikatakan bersumber dari agama Nasrani. Di antaranya sifat fakir, karena menurut keyakinan Nasrani bahwa Isa adalah orang yang paling fakir dan Injil juga disampaikan kepada orang fakir. Di antara orientalis yang berpandangan seperti itu adalah Goldziher.
2.      Unsur Hindhu-Budha
Ada beberapa ajaran tasawuf yang dikatakan memiliki kesamaan dengan ajaran Budha, di antaranya adalah konsentrasi, pengawasan diri dari bujuk rayu nafsu dan pemahaman bahwa hidup ini hanya sementara dapat mengawasi diri dari seluruh keburukan dan mengantar kepada kebaikan.
3.      Unsur Yunani
Dalam sejarah, budaya Yunani seperti filsafat massuk ke dunia Islam ketika berlangsungnya kegiatan penerjemahan karya-karya asing khususnya Yunani kedalam bahasa Arab pada masa daulah Abbasiah. Perlu dicatat disini bahwa penerjemah-penerjemah tersebut bukan saja dari kalangan orang Islam tetapi juga dari kalangan agama lain seperti Yahudi dan Nashrani yang sebagian mereka pada saat itu bekerja sebagai penerjemah atau dokter atau lainnya di daulah Abbasiyah.
4.      Unsur Persia
Dalam historisnya, antara Arab dan Persia telah ada hubungan sejak lama dalam bidang politik, pemikiran, kemasyarakatan dan sastra. Tetapi belum ditemukan dalil yang kuat yang menerangkan bahwa kehidupan rohani Persia telah masuk ke tanah Arab. Yang jelas adalah kehidupan kerohanian Arab masuk ke Persia melalui ahli-ahli tasawuf. Barangkali ada persamaan antara istilah zuhud di Arab dengan zuhud dalam agama Manu dan Mazdaq dan hakikat Muhammad menyerupai paham Harmuz (Tuhan kebaikan) dalam agama Zarathustra.

D.    Istilah Syari’at dan Haqiat
Di kalangan ahli-ahli hukum Islam, syari’ah diartikan seluruh ketentuan yang ada di dalam Al-Qur’an dan Al-Sunnah, baik yang berhubungan dengan akidah, akhlak maupun aktivitas manusia baik yang berupa ibadah maupun mu’amalah. Sama dengan pengertian fiqh pada periode Rasulullah SAW.
Hakikat dalam pandangan tasawuf adalah inti atau rahasia yang paling dalam dari syari’at dan akhir dari perjalanan yang ditempuh oleh seorang sufi. Jika gerak-gerik dan bacaan-bacaan shalat adalah syari’at maka dialog spiritual (bertemu) antara seorang ‘abid (hamba) dengan Ma’bud (Yang Disembah) adalah hakikatnya. Jika gerak-gerik dan bacaan-bacaan yang ada dalam ibadah haji adalah syari’at, maka berjumpa dengan Allah adalah hakikatnya.
Dalam pandangan para sufi, antara syari’at dan hakikat adalah dua hal yang tidak dapat dipishkan. Al-Qusyairi misalnya menjelaskan keterhubungan ini sebagai berikut:
كل شريعة غير مئيدة بالحقيقة فا مرها غير مقبول وكل بالحقيقة غير مئيدة بالشريعة فا مرها غير محصول.
Artinya:
“Setiap syari’at yang tidak didukung dengan hakikat maka urusannya tidak diterima, setiap hakikat yang tidak didukung oleh syari’at maka urusannya tidak berhasil”.
Dalam pandangan kaum sufi semisal Al-Qusyairi dan Al-Ghazali, dalam pelaksanaan seluruh ibadah tidak dapat hanya berkonsentrasi pada hakikat dengan mengabaikan syari’at, demikian pula sebaliknya. Pandangan-pandangan yang mengabaikan syari’at tidak dapat mereka terima, dan dianggap sebagai ajaran yang telah keluar dari hakikat Islam.
BAB 3
Pengenalan Tasawuf Akhlaqi dan Falsafi
A.    Sejarah Ringkas
1.      Abad Pertama dan Kedua Hijriyah
Pada abad ini mereka lebih berkonsentrasi pada kehidupan ibadah untuk mendapat kehidupan yang lebih abadi yaitu akhirat. Jadi pada periode ini, tasawuf masih dalam bentuk kehidupan asketis (zuhud).
2.      Abad Ketiga dan Keempat Hijriyah
Pada periode ini, tasawuf mulai berkembang di mana para sufi telah menaruh perhatian setidaknya pada 3 hal yaitu: jiwa, akhlak dan metafisika. Jadi pada periode ini telah terlihat adanya tasawuf dengan konsentrasi akhlak. Pada periode ini telah lahir juga tasawuf yang menonjolkan pemikiran yang eksklusif tentang “persatuan” manusia dengan Tuhan.
3.      Abad Kelima Hijriyah
Pada periode ini, lahirlah seorang tokoh sufi besar, Al-Ghazali (450-505 H) dengan tulisan-tulisan monumentalnya. Al-Ghazali mengajukan kritik-kritik tajam terhadap berbagai aliran filsafat dan kepercayaan kebatinan dan berupaya keras untuk meluruskan tasawuf dari teori-teori yang ganjil tersebut serta mengembalikannya kepada ajaran atau bimbingan al-Qur’an dan al-Sunnah. Di antara sufi yang hidup pada periode ini adalah: al-Qusyairi (w. 465 H) dan al-Harawi (lahir 396 H).
4.      Abad Keenam dan Ketujuh Hijriyah
Pada periode ini muncul kembali tokoh-tokoh sufi yang memadukan tasawuf dengan filsafat dengan teori-teori yang tidak murni tasawuf dan juga tidak murni filsafat. Kedua-duanya terpadu menjadi satu. Tasawuf ini yang kemudian dinamai dengan tasawuf falsafi.
5.      Abad Kedelapan Hijriyah dan Seterusnya
Pada periode keddelpan hijriyah, tasawuf telah mengalami kemunduran. Ini di antarannya, karena orang-orang yang berkecimpung dalam bidang tasawuf, kegiatannya sudah terbats pada komentar-komentar atau meringkas buku-buku tasawuf terdahulu serta memfokuskan perhatian pada aspek-aspek praktek ritual yang lebih berbentuk formalitas sehingga semakin jauh dari substansi tasawuf.
B.     Tasawuf Akhlaqi
Tasawuf akhlaki adalah tasawuf yang konsentrasinya pada teori-teori perilaku, akhlak, atau budi pekerti.
Untuk tujuan menghilangkan penghalang yang membatasi manusia dengan Tuhannya inilah, ahli-ahli tasawuf menyusun sebuah sistem atau cara yang tersusun atas dasar didikan tiga tingkat yang diberi nama : takhalli, tahalli dan tajalli.
Untuk memperdalam dan melanggengkan rasa kedekatan dengan Tuhan ini, para sufi mengajarkan hal-hal berikut: 1) Munajat, 2) Muhasabah, 3) Muraqabah, 4) Katsrat al-dzikr, 5) Dzikr al-maut, 6) Tafakkur.
C.    Tasawuf Falsafi
Tasawuf falsafi adalah tasawuf yang didasarkan kepada gabungan teori-teori tasawuf dan filsafat.
Dalam tasawuf falsafi secara umum mengandung kesamaran-kesamaran dikarenakan banyaknya istilah-istilah khusus yang hanya dipahami oleh mereka yang memahami aliran tasawuf ini.
BAB 4
Maqamat dan Ahwal
A.    Maqamat (Stages)
Maqam adalah tingkatan seorang hamba di hadapan Tuhannya dalam hal ibadah dan latihan-latihan jiwa yang dilakukannya. Menurut Harun Nasution bahwa maqamat meliputi: al-taubah., al-wara’, al-zuhud, al-sabar, al-tawakkal, dan al-ridha .

B.     Ahwal (States)
Ahwal adalah suatu kondisi jiwa yang diperoleh lewat kesucian hati. Perbedaan antara maqamat dan ahwal adalah, jika maqamat adalah suatu tingkatan seorang hamba dihadapa Tuhannya daam hal ibadah dan latihan-latihan jiwa yang dilakukannya, jadi atas dasar usaha yang dilakukannya, sedangkan ahwal adalah suatu kondisi atau keadaan jiwa yang diberikan Allah tanpa upaya dari orang yang berkenan.
Macam-macam ahwal, yaitu Muraqabah atau mawas diri, Mahabbah, Al-Khauf rasa takut, Al-Raja’ Al-Syauq berarti rindu, dan Al-Uns berarti intim.
C.    Metode Irfani
Qalb (hati) dalam pandangan para sufi mempunyai fungsi yang esensial untuk memperoleh kearifan atau makrifah, tetapi tidak semua qalb dapat sampai kepada makrifat, hanya qalb yang telah suci dari berbagai nodalah yang dapat sampai kesana. Kesucian qalb (hati) merupakan persyaratan untuk memperoleh kearifan atau ma’rifah.
Untuk mencapai kepada ma’rifah mesti melalui tahapan-tahapan, yaitu Riyadhah, Tafakkur, Tazkiyah al-Nafs, dan Dzikrullah.

BAB  5
Hubungan Tasawuf dengan Ilmu Kalam, Filsafat, Fiqih dan Ilmu Jiwa Agama
A.    Ilmu dalam Pandangan Kaum Sufi
Para sufi sebenarnya sangat menghargai ‘ilm al-muktasab (yang diusahakan melalui proses belajar). Kalaupun ada yang tidak menghargai atau bahkan mengecam ilmu, maka itu hanya dilakukan oleh kelompok-kelompok tertentu. Ini mungkin di antarannya karena penghargaan mereka yang sangat besar kepada ilmu ladunni dan kecaman mereka terhadap akal. Ada ungkapan para sufi yang menegaskan bahwa awal ibadah kepada Allah adalah ilmu. Apabila kamu berilmu maka kamu berma’rifah dan apabila kamu berma’rifah maka kamu dapat beribadah, namun ibadah dan ma’rifah tidak akan berherrti tanpa ilmu.
B.     Hubungan Ilmu Tasawuf dengan Ilmu Kalam
Ilmu tasawuf dan ilmu kalam adalah dua disiplin ilmu yang memiliki keterkaitan antara satu dengan lainnya. Ilmu kalam adalah ilmu yang mempelajari tentang Allah, sifat-sifat dan kalam-Nya. Dalam hubunganya, ilmu tasawuf, mengemukakan bahasan-bahasan tentang jalan praktis untuk merasakan sifat-sifat dan kalam Allah tersebut. Jika ilmu kalam, misalnya, menjelaskan bahwa itu Allah Esa, Maha Pengasih dan Penyayang, maka ilmu tasawuf mengemukakan bahasan bagaimana merasakan Esa dan Kasih sayang Tuhan tersebut. Dengan demikian ilmu tasawuf berfungsi sebagai pemberi wawasan spiritual, rohaniyah dari ilmu kalam. Kajian ilmu kalam akan lebih terasa maknanya jika diisi dengan ilmu tasawuf. Ilmu kalam pula dapat berfungsi sebagai pengendali ilmu tasawuf. Jika ada teori-teori dalam ilmu tasawuf yang tidak sesuai dengan kajian ilmu kalam tentang Tuhan yang didasarkan kepada al-Qur’an dan al-Hadits maka mesti dibetulkan. Demikian terlihat hubungan timbal balik di antara ilmu tasawuf dan ilmu kalam.
C.    Hubungan Ilmu Tasawuf dengan Ilmu Fiqih
Ilmu tasawuf memberikan unsur-unsur bathiniyyah kepada fiqh. Fiqh akan terasa sangat lahiriyah dan formalistik atau terasa amat kering jika tanpa tasawuf. Sebaliknya fiqh pula memberikan aturan-aturan yang dengannya tasawuf terhindar dari kebenaran sendiri yang bathiniyah tanpa memperhatikan aturan-aturan lahiriyah. Di sinilah perlunya menggabungkan antara syari’at (dalam artian fiqh ) dengan haqiqat (dalam artian tasawuf). Demikian hubungan erat antara tasawuf dengan fiqh.
D.    Hubungan Ilmu Tasawuf dengan Filsafat
Filsafat berkonsentrasi pada pencarian hakikat sesuatu yang dapat mengantarkan kepada ilmu dan amal yang benar (al-haq). Pencarian kebenaran dalam filsafat adalah dengan pendekatan kefilsafatan yaitu dengan pengerahan rasional atau pemikiran. Di antara objek-objek bahasan filsafat adalah jiwa dan roh.
Ilmu tasawuf disisi lain juga berupaya untuk sampai kepada kebenaran mutlak tetapi pendekatan yang digunakan lebih kepada zauq (rasa) dengan jalan riyadhah (latihan-latihan) pembersihan jiwa untuk dapat dekat dengan kebenaran mutlak (Allah). Di antara objek kajian tasawuf juga adalah jiwa dan roh kendati lebih sering menggunakan istilah qalb (hati).
Filsafat telah memberikan sumbangan dalam dunia tasawuf. Kajian-kajian fisafat tentang jiwa dan roh ini banyak dikembangkan dalam tasawuf, khususnya tasawuf falsafi.
E.     Hubungan Ilmu Taswuf dengan Ilmu Jiwa
Di antara objek bahasan ilmu jiwa (psikologi) adalah kesehatan mental. Di dalam ilmu tasawuf juga dibahas hubungan antara jiwa dan jasmani. Ilmu tasawuf lebih mengkonentrasikan kebersihan jiwa dengan pendekatan diri kepada Tuhan lewat berbagai ibadah sedang psikologi tidak demikian. Psikologi lebih banyak menggunakan teori-teori dengan berbagai solusi diluar konteks ibadah atau zikir yang dikenal dalam tasawuf.
BAB 6
Tasawuf Akhlaqi
A.    Hasan Al-Basri
Kemasyhuran Hasan al-Basri dalam kehidupan kerohanian telah mendapat perhatian di dalam kitab-kitab tasawuf, seperti kitab Qut al-Qulub karya Abu Thalib al-Makki, Tabaqat al-Kubra karya al-Sya’rani, Hilyah al-Auliya karya Abu Nu’aim dan lain-lain. Hasan al-Basri termasyhur dikalangan para tabi’in sebagai orang zahid. 
B.     Al-Muhasibi
Al-Muhsibi dalam tasawufnya senantiasa berupaya di bawah bimbingan al-Qur’an dan al-Sunnah, memadukan antara lahiriyah dan bathiniyah agama, antara akal dan rasa, antara syari’at dan hkaikat. Di dalam tasawufnya, dia berbicara tentang banyak hal termasuklah masalah-masalah pembentukan jiwa untuk dapat dekat kepada Allah dimulai dari perenungan, khawf dan raja’ sampai kepda wara’ bahkan ma’rifat.
C.    Al-Qusyairi
Al-Qusyairi mengecam kungkapan-ungkapan ganjil dari para sufi yang menunjukan persatuan di antara khaliq dengan makhluq. Ia juga mengecam para sufi pada masanya yang kegemaran mereka memakai pakaian orang-orangmiskin, tetapi pada saat yang sama tindak-tanduk mereka bertentangan dengan pakaian mereka itu. Ia menekankan bahwa kesehatan batin dengan perpegang teguh kepada al-Qur’an dan al-Sunnah lebih penting dibandingan dengan pakaian lahiriyah.
Dengan demikian, jelas banwa al-Qusyairi coba mengadakan pembaharuan terhadap tasawwuf. Ia mengemukakan konsep-konspe mengkompromikan antara syariat dengan hakikat, anatar yang zahir dengan yang batin dengan senantiasa berpegang teguh kepda al-Qur’an dan al-Sunnah.
D.    Al-Ghazali
Al-Ghazali berpendapat bahwa sebelum mempelajari dan mengamalkan tasawuf orang ahrus memperdalam ilmu tentang syari’at dan aqidah terlebih dahulu dan menjalnkannya secara tekun dan sempurna. Pandangan seperti ini tergambar dari karya monumentalnya Ihya ‘Ulum al-Din yang terdiri dari empat jilid tebal.
Menurut al-Ghazali bahwa ma’rifat dan mahabbah adalah setinggi-tinggi tingkat yang dapat dicapai seorang sufi, dan pengetahuan yang diperoleh dari ma’rifah lebih tinggi mutunya dari pengetahuan yang diperoleh dengan akal.  
BAB 7
Tasawuf Irfani
Tasawuf Irfani adalah penyingkapan hakikat kebenaran atau ma’rifah kepada Allah tidk diperoleh melalui logika atau pembelajaran atau pmeikiran, tetapi melalui hati yang bersih (suci) yang denganya seseorang dapat berdialog secara batii dengan Tuhan sehingga pengetahuan atau ma’rifah dimasukkan Allah kedalam hatinya, hakikat kebenaranpun tersingkap lewat ilham.
A.    Rabi’ah Al-Adawiyah
Rabi’ah al-Adawiyah dianggap sebagai seorang sufi yang meletakan dasar konsep zuhud berdasarkan cinta (al-hubb). Dia adalah pelopor sekaligus pengamal ketiga pengertian mahabbah, yaitu pertama, ia dikenal sebagai orang yang sangat taat kepda Allah. Kedua, menyerahkan seluruh diri kepada yang dikasihi di mana ia tidak mau untuk berbagi kasih, misalnya denagn sebuah perkawinan, ketiga, dirinya kosong dari segal-galanya kecuali Allah, di mana dia tidak menyisakka sedikit ruangpun untuk mencintai selain Allah, bahan untuk Muhammad saw., dan juga tidak menyisakkan hati untuk membenci bahkan iblis sekalipun. 
B.     Dzu al-Nun al-Mishri
Posisi al-Mishri dalam tasawuf dilihat penting karena dialah orang pertama di Mesir yang membicarakan masalah ahwal dan maqamat para wali. Dia juga dipandang sebagai bapak faham ma’rifah. Ma’rifah menurut al-Mishri dibagi menjadi tiga, yaitu 1) ma’rifah orang awam, 2) ma’rifah para teolog dan filosof 3) ma’rifah para wali-wali Allah.
C.    Al-Junaid
Al-Junaid terkenal dengan konsep tauhidnya yang didasarkan kefanaan. Dimana pemahaman akan hakikat Allah tidka akan dapat dicapai denagn akal pikiran tetapi melalui kefanaan yang mana kefanaan ini sendiri adalah pemeberian dari Tuhan. Kefanaan menurutnya adalah peniadaan diri dan segala sesuatu kecuali Allah yang kemudian hidup dalam Dia (Allah) yang ia sebut denngan baqa’.
D.    Al-Bustami
E.   Al-Hallaj
Ada tiga ajaran pokok tasawuf al-Hallaj 1)hulul, 2)Muhammadiyah dan 3) wahdah al—adyan adalah hakikat seua agama adalah satu, karena semua mempunyai tujuan yang satu yaitu mengakui dan menyembah Allah, Tuhan semesta alam, Tuhan semua agama.
BAB 8
Tasawuf Falsafi
A.    Ibn ‘Arabi
Di anatra ajaran terpenting dari Ibn ‘Arabi adalah wahdat al-wujud, yaitu faham bahwa manusia dan Tuhan pada hakikatnya adalah satu kesatuan wujud. Menurut faham ini bahwa setiap sesuatu yang ada memiliki dua aspek, yaitu aspek luar dan aspek dalam. Aspek luar disebut makhluk (al-khalq). Aspek dalam disebut Tuhan (al-haqq).
Menurut Ibn ‘Arabi bahwa wujud alam pada hakikatnya adalah wujud Allah. Allah adalah hakikat alam.
B.     Al-Jilli
Al-Jilli termasuk dalam kelompok sufi yang berpandnagbahwa yang ada ini adalah tunggal, semua perbedaan pada hakektanya hanyalah modus, aspek dan manifestasi fenomenal (lahiriyah) dari realitas tunggal tersebut. Allah adalah substansi dari yang ada ini. Substansi yang dinmakan al-Jilli dengan zat mutlak ini memanifestasikan diri melalui tiga taraf, yaitu Ahadiyah, Huwiyah, dan Aniyah.
C.   Ibn Sab’in
Ibn Sab’in mengatakan bahwa jika seseorang melihat kepada jagad raya dana apa yang berada di bawahnya dari manusia, binatang dan tumbuh-tumbuahan, kemudian ia memisah-misah dan mebagi-baginya, menyusun dan menyambungkannya, maka ketika ia kembali kepada dirinnya, ia akan mendapatkan di dalam dirinya apa-apa yang ada di dalam jagad raya dan apa-apa yang berada di bawahnya dengan bentuk yang lebih indah dan lembut. Karena ia melihat dirinnya seperti sebuah contoh dari alam ini. Dan sesungguhnya keseluruhan atau kesatuan itu merupakan emanasi dari yang satu. Ibn Sab’in menyebut kesatuan tersebut dengan al-Ihathah yang maksudnya bahwa wujud secara keseluruhan adalah satu kesatuan. Menurutnya, bahwa wujud berdasarkan jenisnya terbagi tiga: 1. Wujud muthlaq, 2. Wujud Muqayyad, 3. Wujud Muqaddar. Menurut Hamka, Ibn Sab’in telah banyak dipengaruhi oleh filsafat asing sehingga tasawuf tidak lagi semata-mata dikmebalikan kepada sumbernya yang asli yaitu al-Qur’an dan al-Sunnah.
BAB 9
Seputar Tarekat (Thariqah)
A.   Pengertian Tarekat
Tarekat terambil dari bahasa Arab al-thariqah yang berarti “jalan”. Jalan yang dimaksud disini adalah jalan yang ditempuh oleh para sufi untuk dapat dekat kepada Allah.
Dengan demikian ada dua pengertian tarekat, (1) tarekat sebagai pendidikan kerahanian yang dilakukan oleh orang-orang yang menjalani kehidupan tasawuf untuk mencapai suatu tingkat kerohanian tertentu
B.   Tarekat yang Berkembang di Indonesia
Terdapat sejumlah nama tarekat yang berkembang di Indonesia, yaitu: Tarekat Qadiriyah, Tarekat Rifa’iyah, Tarekat Naqsyabandi, Tarekat Khalwatiyah, Tarekat al-Haddad, dan Tarekat Khalidiyah
C.   Argumentasi Beberapa Praktek Praktis Tarekat

BAB 10
Tasawuf di Indonesia
A.   Aliran Tasawuf Falsafi (Hamzah al-Fansuri)

B.   Aliran Taswuf Sunni (Ar-Raniri dan Al-Palembani)
1.     Ar-Raniri

2.     Al-Palembani
Al-Palembani merupakan tokoh tasawuf sunni yang menggantikan posisi Al-Raniri dalam pergelutan pemikiran menghadapi pengikut-pengikut Hamzah fansuri. Al-Palembani dipandang sebagai tokoh yang menjadi faktor penentu keberhasilan Ahl- al-Sunnah wa al-Jamaah dan taswuf sunni memantapkan kedudukan dan pengaruhnya di Indonesia.
C.    Tasawuf Modern (Hamka)

BAB 11
Seputar Tasawuf Syar’i
A.    Meluruskan Penyimpangan
1.      Syari’at dan Haqiqah ( Hakikat)
Syari’at adalah aturan yang meliputi seluruh sisi kehdupan, baik yang lahir maupun yang batin. Jadi tidak ada pemisahan antara syari’at dengan hakikat,
B.   Meluruskan Landasan Tasawuf Syar’i
Dalam konteks tasawuf dalam artian perbaikan akhlak, ada beberapa hal, yang mesti diperhatikan agar tetap dalam bingkai syari’at:
1.      Seluruh sifat buruk (mazmumah) yang akan dikikis mesti dari petunjuk al-Qur’an dan sunnah Rasulullah saw.
2.      Seluruh sifat terpuji yang akan ditanamkan juga dari petunjuk al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah saw.
3.      Langkah-langkah yang ditempuh dalam proses pembersihan diri dari sifat-sifat tercela dan dalam penyemaian sifat-sifat terpuji adalah:
a.       Dengan pengendalian hawa nafsu, bukan dengan membunuh nafsu secara total, sebab nafsu dapat diarahkan kepada hal-hal yang positif, untuk kebaikan diri, keluarga dan masyarakat.
b.      Dengan menanamkan rasa ketidak tergantungan kepada kehidupan dunia, tetapi dengan memperhatikan petunjuk-petunjuk Allah dan Rasul-Nya.
c.       Dengan memperbanyak amalan sunat.
d.      Dalam pelaksanaan ibadah-ibadah, mesti terhindar dari penyimpangan-penyimpangan yang dapat mengarah kepada panduan Tuhan (syirik).
e.       Perhatian kepada perbaikan akhlak, tidak boleh mematikan semangat untuk bekerja, beramal, berjihad dalam arti yang luas.
4.      Secara umu yang harus ditanamkan adalah akhlak al-Qur’an.
5.      Tidak boleh menjadikan penganut satu faham merasa lebih baik atau superior dari lainnya.
Ada beberapa hal yang harus diperhatikan agar senantiasa dalam koridor syari’at adalah: pertama, mesti diyakini bahwa menurut panduan al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah saw bahwa Allah berbeda dengan segala yang dijadikan (makhluk). Kedua, kesatuan dengan Tuhan baik dalam bentuk ittihad, hulul maupun wahdat al-wujud.


-  KEUNGGULAN BUKU
Buku akhlak tasawuf ini berisi dasar-dasar agar menjadi seorang sufi.
                                -  KELEMAHAN BUKU
Di dalam buku Akhlak Tasawuf memiliki kelemahan yitu, bahwa dalam pengetikannya ada kata-kata atau kalimat yang salah dan di ulang-ulang lagi sehingga menyebabkan Mahasiswa kurang memahami dari isi buku Akhalak Tasawuf karya Dr. H. M. Jamil, MA. Ini. Dan ada pembahasan yang kurang memahami dan tidak diberi arti atau footnote tambahan keterangan tentang pembahsan di massing-masing bab. Antar lain akan saya sebutkan kelemahan pada nomor-nomor Akhlak Tasawuf karya Dr. H.M. Jamil, MA. Sebagi berikut:
a.       pada halaman 8 ada kata massif yang sepertinya yang dimaksud adalah passif.
b.      Pada halaman selanjutnya yaitu 9, yaitu penulis menemukan ada kata filsat dan kata itu-itu di ketik ulang padahal itu tidak perlu dan membuat bingung mahasiswa yang membaca buku
c.       Pada halaman 57 juga penulis menemukan ada kata ahli ahli yang tidak diberi kata penghubung apa itu kata ulang atau kebanyakan pengetikan kelalaian dari si Penulis.
d.       Pada halaman 71 disebutkan bahwa ada kata pantheisme, hermenetisme yang tidak ada keterangan dari maksud tersebut.
e.       Pada halaman 75 parangraf pertama terlihat jelas salah dan kurang ketelitian dari si Penulis ada kata al-tabubah yang seharusnya al-taubah.
3. PENUTUP
-  AJAKAN KEPADA KONSUMEN
Pada setiap penulisan buku itu memang tidak luput drai adanya kelebihan dan kekurangan isi buku. Tidak ada manusia yang sempurna. Ya kesempurnaan hanya milik Allah dan manusia tidak luput dari rasa lupa dan salah. Buku Akhlak Tasawuf ini yang ditulis oleh Dr. H. M. Jamil, MA. Patutu untuk dibeli dan dibaca. Walaupun buku ini hanya disampaikan kepada mahasiswa semester 2 dan sebagai syarat kelulusan mata kuliah Tasawuf yang diberikan oleh Dosen. Namun, tidak dipungkiri juga untuk masyarakat awam untuk memebeli dan mebaca buku ini, sebagai landasan atau dasar dalam mendalami ilmu Tasawuf agar mengetahui sufi yang sebenarnya.

-         IDENTITAS PENULIS
Drs. H.M. Jamil, MA. Lahir di Pasar Minggu Sumatra Utara, 10 September 166. Pendidikan dasar dan menengahnya diselesaikan di Madrasah Pendidikan Islam (MSI) Tanjung Balai Asahan Sumatra Utara.
Strata satunya (SI) diselesaikan di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Sumatra Utara Medan Jurusan Perbandingan Madzhab dan Hukum, selesai tahun 1991. Strata duanya (S2) diselesaikan pada tahun 1998 pada Jurusan Islamic Revealed Knowledge and Heritage (Ushul ad-Din and Comparative Religion) di International Islamic Universitas Islam Negri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Selain aktif diberbagai organisasi sosial-keagamaan, penulis bekerja sebgai dosen tetap pada Fakultas Syariah Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Sumatra Utara Medan, dan saat yang sama pula, penulis menjabat ketua I (Bidang Akademik) pada sekolah Tinggi Agama Islam al- Ishlahiyah Binjai Sumtra Utara.
Penulis aktif dan mengisi seminar-seminar keislaman, baik lokal, nasional maupun Internasional. Penulis aktif menulis diberbagai media massa lokal dan nasional dan aktif menjadi kontributor buku. Penulis aktif menulis Rubrik Agama pada Harian Waspada Medan Sumtra Utara.




Komentar

  1. Kak, boleh tahu gak, pembahasan tentang tasawuf akhlakqi ( takhalli, tahalli, tajalli) di buku nya hlaman brapa aja ya.. Aku mau bli tapi di toko online pada kosong kak...
    Mhon bantiannya ya kak...

    BalasHapus
  2. Kok boleh tau apakah buku ini memiliki daftar pustaka

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

makalah Semester 1 : Tradisi dan Budaya Menurut Pandangan NU

karakteristik Akhlak Islam dan Hubunganya dengan Ilmu lainnya.

makalah Tarikh Tasyri' pada masa Modern, tokoh-tokohnya dan sejarahnya