makalah Semester 1 : Tradisi dan Budaya Menurut Pandangan NU
“Tradisi dan Budaya Menurut
Pandangan NU”
MAKALAH TUGAS INDIVIDU
Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Agama 2 (ASWAJA)
Dosen Pengampu: Wahidullah,
S.H.I.,M.H.
Disusun oleh :
Nailus
Syarifah (141410000406)
FAKULTAS SYARI’AH DAN ILMU HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NAHDHLATUL ULAMA’ ( UNISNU )
JEPARA 2014
KATA
PENGATAR
Puji
dan syukur kita panjatkan kepada Allah Subhanahu Wata’ala, serta Shalawat dan salam
kita panjatkan kepada junjungan kita, Nabi Agung Muhammad saw., karena atas
hidayah-Nyalah makalah ini dapat terselesaikan tepat pada waktunya. makalah ini
kami sampaikan kepada Pembina mata kuliah Agama 2 (Aswaja) yang dibina oleh bapak Wahidullah, S.H.I, M.H.
sebagai salah satu syarat kelulusan mata kuliah tersebut. Tidak lupa kami
ucapkan terima kasih kepada bapak yang telah berjasa mencurahkan ilmunya kepada
kami dengan ikhlas mengajar mata kuliah Agama 2 (Aswaja).
Kami
memohon maaf kepada Bapak dosen khususnya, umumnya para pembaca apabila
menemukan kesalahan atau kekurangan dalam karya tulis ini, baik dari segi
bahasanya maupun isinya, kami mengharapkan kritik dan saran yang bersifat
membangun kepada semua pembaca demi lebih baiknya karya-karya tulis yang akan
datang.
Mudah-mudahan
makalah yang kami buat ini, bermanfaat bagi semua orang khususnya untuk kami
sendiri maupun untuk pembaca. Atas perhatianya, kami mengucapkan terima kasih.
Jepara,10
Desember 2014
Penulis
DAFTAR
ISI
Kata
Pengantar..............................................................................
Daftar
Isi........................................................................................
BAB
I Pendahuluan
1.
Latar
Belakang Masalah........................................................
2. Rumusan Masalah.................................................................
3. Tujuan Penulisan...................................................................
BAB
II Pembahasan
1.
Pengertian
Tradisi, Budaya dan NU.....................................
a. Tradisi........................................................................
b.
Budaya......................................................................
c.
NU.............................................................................
2.
Latar
Belakang Tradisi dan Budaya dalam NU....................
3.
Tradisi
dan Budaya di Indonesia..........................................
4.
Tradisi
dan Budaya menurut Pandangan NU ......................
BAB
III Penutup..........................................................................
Daftar
Pustaka...............................................................................
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Sejarah diterimannya kehadiran Islam di Nusantara dengan kondisi
keagamaan masyarakat yang menganut paham animisme (Hindu-Budha), tidak
bisa dilepaskan dari cara dan model pendekatan dakwah para mubaligh Islam kala
itu yang ramah dan bersedia menghargai kearifan budaya dan tradisi lokal.
Sebuah pendekatan dakwah yang terbuka dan tidak antisipati terdapat nilai-nilai
normatif di luar Islam, melainkan mengakulturasikannya dengan membenahi
penyimpangan-penyimpangan di dalamnya memasukkan ruh-ruh keislaman ke dalam
subtstansinya. Maka lumrah jika kemudian corak amaliah ritualitas muslim
Nusantara (khususnya Jawa) hari ini, kita saksikan begitu kental diwarnai
dengan tradisi dan budaya khas lokal,
seperti ritual selametan, kenduri, dan lain-lain.
Amaliah keagamaan seperti itu tetap dipertahankan karena kaum
Nahdliyyin meyakini bahwa ritual-ritual dan amaliyah yang bercorak lokal
tersebut. Hanyalah sebatas teknis atau bentuk luaran saja, sedangkan yang
menjadi substansi didalamnya murni ajaran-ajaran Islam. Dengan kata lain,
ritual-ritual yang bercorak tradisi lokal hanyalah bungkus luar, sedangkan
isinya adalah nilai-nilai ibadah yang dianjurkan oleh Islam.
Dalam pandangan kaum Nahdliyyin, kehadiran Islam yang dibawa oleh
Rasulullah saw. Bukanlah untuk menolak segala tradisi yang mengakar menjadi
kultur budaya masyarakat, melainkan sekedar untuk melakukan pembenahan-pembenahan
dan pelurusan-pelurusan terhadap tradisi dan budaya yang tidak sesuai dengan
risalah Rasulullah saw. Budaya yang telah mapan menjadi nilai normatif
masyarakat dan tidak bertentangan dengan ajaran Islam akan mengakulturasikannya bahkan
mengakuinnya sebagai bagian dari budaya dan tradisi Islam itu sendiri. Dalam
hal ini, Rasululullah saw. Bersabda:
“ apa yang dilihat orang Muslim baik, maka
hal itu baik disisi Allah.” (HR. Malik).
Kendati demikian,
amaliah dan ritual keagamaan kaum Nahdliyin seperti itu, sering mengobsesi
sebagian pihak untuk menganggapnya sebagai praktik-praktik sengkritisme,
mitisme, khurafat, bid’ah bahkan syirik.
Anggapan demikian sebenarnya lebih merupakan subyektifitas akibat
terjebak dalam pemahaman Islam yang sempit dan dangkal serta tidak benar-benar
memahami hakikat amaliah dan ritual-ritual hukum
Nahdliyyin tersebut. Pihak-pihak yang seperti ini, wajar apabila kemudian
dengan mudah melontarkan ‘tuduhan’ bid’ah atau syirik terhadap
amaliah dan ritualitas kaum Nahdliyyin, seperti ritual tahlilan, peringatan
Maulid Nabi, Istighfar, Pembacan berzanji, Manaqib, Ziarah kubur, dan
amaliah-amaliah lainnya.
Tuduhan-tuduhan bid’ah seperti itu, sangat tidak berdasar baik
secara dalil maupun ilmiah, dan lebih merupakan sikap yang mencerminkan
kedangkalan pemahaman keislaman. Sebab sekalipun terdapat kaidah fiqh yang menyatakan:
“hukum asal ritual ibadah adalah haram”.
B.
Rumusan Masalah
Dalam makalah ini, saya akan merumuskan
masalah yang akan dibahas, yaitu:
1.
Apa Pengertian dari Tradisi, Budaya, dan NU ?
2.
Bagaimana Latar Belakang Tradisi dan Budaya dalam NU ?
3.
Apa Saja Tradisi dan Budaya di Indonesia ?
4.
Bagaimana Tradisi dan Budaya menurut Pandangan NU ?
C.
Tujuan Penulisan
1.
Untuk Memahami Pengertian Tradisi, Budaya, dan NU.
2.
Untuk Mengetahui Latar Belakang Tradisi dan Budaya dalam NU.
3.
Untuk Memahami Tradisi dan Budaya di Indonesia.
4.
Untuk Mengetahui Tradisi dan Budaya Menurut Pandangan NU.
BAB
II
PEMBAHASAN
1. Pengertian Tradisi, Budaya, dan NU
a.
Tradisi
Tradisi
(Bahasa Latin: tradition,
“diteruskan”) atau kebiasaan, dalam pengertian yang paling sederhana adalah
sesuatu yang telah dilakukan untuk sejak lama dan menjadi bagian dari kehidupan
suatu kelompok masyarakat, biasannya dari suatu Negara, kebudayaan, waktu, atau
agama yang sama. Hal yang paling mendasar dari tradisi adanya informasi yang
diteruskan dari generasi ke generasi baik tertulis maupun (sering kali) lisan,
karena tanpa adanya ini, suatu tradisi dapat punah[1].
Menurut
Kamus Besar Bahasa Indonesia, Tradisi adalah adat kebiasaan turun temurun yang
masih dijalankan dimasyarakat dengan anggapan tersebut bahwa cara-cara yang ada
merupakan yang paling baik dan benar[2].
Tradisi
adalah pertama, sesuatu yang ditransferensikan kepada kita. Kedua, sesuatu yang
dipahamkan kepada kita. Dan ketiga, sesuatu yang mengarahkan perilaku kehidupan kita. Itu merupakan tiga lingkaran yang
didalamnya suatu tradisi tertentu ditransformasikan menuju tradisi yang
dinamis. Pada lingkaran pertama, tradisi menegakkan kesadaran historis, pada
lingkaran kedua menegakkan kesadaran eidetis, dan pada lingkaran ketiga
menegakkan kesadaran praksis[3].
b.
Budaya
Budaya
atau kebudayaan berasal dari bahasa Sanksekerta yaitu buddayah, yang merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal)
diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia. Dalam
bahasa Inggris, kebudayaan disebut culture,
yang berasal dari kata latin Colere,
yaitu mengolah atau mengerjakan. Bisa diartikan juga sebagai
mengolah tanah atau bertani. Kata culture juga kadang diterjemahkan sebagai
“kultur” dalam bahasa Indonesia. Budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang
dan dimiliki bersama oleh sebuah kelompok orang dan diwariskan dari generasi
kegenerasi. Budaya terbentuk dari banyak unsur yang
rumit, sistem agama, dan politik adat
istiadat, bahasa, perkakas, pakaian, bangunan, dan karya seni. Bahasa,
sebagaimana juga budaya, merupakan bagian tak terpisahkan dari diri manusia
sehingga cenderung menganggapnya diwariskan secara genetis. Ketika seorang berusaha
berkomunikasi dengan orang-orang yang berbeda budaya dan menyesuaikan
perbedaan-perbedaannya, membuktikan bahwa budaya itu dipelajari.
Budaya
adalah suatu pola hidup menyeluruh. Budaya bersifat kompleks, abstrak, dan
luas. Banyak aspek budaya turut menentukan perilaku komunikatif. Unsur-unsur
sosio-budaya ini tersebar dan meliputi banyak kegiatan sosial manusia.[4]
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Budaya adalah sesuatu yang sudah menjadi
kebiasaan dan sukar untuk dirubah[5].
c.
NU
Nahdlatul Ulama’ secara
etimologis mempunyai arti “Kebangkitan Ulama’” atau “Bangkitnya para Ulama’”,
sebuah organisasi yang didirikan sebagai tempat terhimpun seluruh Ulama’ dan
umat Islam. Sedangkan menurut istilah, Nahdlatul Ulama’ adalah Jam’iyyah
Diniyah yang berhaluan Ahlussunnah Wal Jama’ah yanh didirikan pada tanggal 16
Rajab 1344 H atau bertepatan pada tanggal 31 Januari 1926 M di Surabaya yang
bergerak dibidang ekonomi, pendidikan, dan sosial.
NU didirikan atas dasar kesadaran dan keinsyafan
bahwa setiap manusia hanya dapat memenuhi kebutuhannya bila bersedia hidup
bermasyarakat.
Sikap kemasyarakatan yang ditumbuhkan oleh NU adalah[6]:
a.
At-Tawasuth dan I’tidal, yaitu sikap tengah dengan inti keadilan dalam kehidupan.
b.
At-Tasamuh, yaitu toleran dalam perbedaan, toleran dalam urusan kemasyarakatan dan kebudayaan.
c.
At-Tawazun, yaitu keseimbangan beribadah
kepada Allah swt dan berkhidmah kepada sesama manusia serta keselarasan masa
lalu, masa kini, dan masa depan.
d.
Amar Ma’ruf Nahi Munkar, yaitu mendorong
perbuatan baik dan mencegah hal-hal yang merendahkan nilai-nilai kehidupan
(mencegah kemungkaran).
2. Latar Belakang Tradisi dan Budaya dalam
NU
Mayoritas umat Islam Indonesia, bahkan di dunia
adalah penganut Aliran Ahlussunnah Wal Jamaah. Ajaran-ajaran Ahlussunnah
Wal Jama’ah begitu berakar dan membumi dalam tradisi,
budaya, dan kehidupan keseharian masyarakat muslim Indonesia. Memang
ajaran-ajaran Aswaja bisa terwujud dalam manifestasi yang beragam diberbagai
belahan dunia Islam karena cara hidup, kebiasaan, dan adat istiadat
masing-masing kawasan dunia Islam yang berbeda. Namun, ada benang merah yang
menyatukan semua adat-adat yang berbeda itu. Ajaran Aswaja selalu menjiwai
berbagai tradisi-tradisi tersebut. Pasti ada ajaran-ajaran Aswaja yang menjadi
substansi dan penggeraknya. Bagi para Ulama’ dan kalangan terpelajar akan
dengan mudah menangkap ajaran-ajaran dibalik tradisi-tradisi keagamaan yang
berbeda-beda tersebut. Namun, bagi sebagian kalangan awam mungkin agak sulit,
mereka lebih memahami praktek dari pada aspek bathiniyyahnya. Dari sinilah
timbul kesalah pahaman terhadap sebagian tradisi-tradisi keagammaan yang ada[7].
Selama
ini kita maklum, bahwa sebelum hadirnya dakwah Islam yang diusung para wali
(walisongo), masyarakta Jawa adalah pemeluk taat agama Hindu dan juga pelaku
budaya Jawa yang kental dengan nuansa Hinduisme sampai sekarang masih di-ugemi
(pedomani) sebagian masayarakat Indonesia[8].
Mengikis budaya yang tidak sejalan dengan ajaran
agama dan sudah mengakar kuat, tidak semudah membalikkan telapak tangan. Butuh
perjuangan yang ekstra keras tentunya. Sebagian dari mereka memilih jalan
dakwah dengan langsung mengajarkan
dan menerapkan syari’at Islam kepada masyarakat. Budaya dan praktek syirik yang tak sejalan dengan syari’at Islam langsung
dibabat habis. Dan ada pula yang menggunakan pendekatan sosial budaya dengan
cara yang lebih halus: dengan cara mengalir mengikuti tradisi masuarakat tanpa
harus terhanyut.
Perbedaan jalan dakwah seperti itu tidak perlu
diperdebatkan karena semuanya muncul dari cita-cita luhur mengislamkan
masyarakat yang masih memeluk agama nenek moyang yang sarat dengan syirik, kufur, dan
penuh nuansa takhayul dan khurafat.
Menurut cerita sejarah, budaya mengadakan
kenduri atau selametan kematian yang
juga merupakan budaya mereka tidak serta merta beliau hapus. Budaya selametan
yang semula dipenuhi dengan ajaran kufur, wadahnya dibiarkan, tetapi isinnya
yang sarat dengan kekufuran dan cid’ah diganti dengan ajaran yang bernuansa
Islami, atau minimal jauh dari kemusyrikan[9].
Mengenai tuduhan tasyabbuh (menyerupai)
dengan orang kafir dalam budaya lokal dilestarikan walisongo tersebut, tentu
dengan mudah kami dapat mendebat. Upacara ala Hindu dalam selametan hari
kematian, misalnya, seperti hari ke-7, ke-40, ke-100 dan lain-lain sama sekali
telah diganti dengan sedekah karena Allah, membava Al-Qur.an, shalawat, dzikir,
dan do’a.
3. Tradisi dan Budaya di Indonesia
Berikut ini Tradisi yang ada di Indonesia[10]:
a.
Tahlilan
Tahlil itu berasal dari kata hallala, yuhallilu,
tahlilan, artinya membaca kalimat La Ilaha Illallah.
Tahlil berarti rangkaian acara yang terdiri dari
membaca beberapa ayat dan surat dari al-Qur’an seperti al-khlas, al-Falaq,
an-Naas, ayat kursi, awal dan ahir surat al-Baqarah, membaca dzikir-dzikir
seperti tahlil, tasbih, tahmid, shalawat dan semacamnya, kemudian diakhiri
dengan do’a dan hidangan makan. Semua rangkain acara ini dilakukan secara berjama’ah dengan suara yang keras. Hukum tahlil adalah boleh dalam
syari’at Islam, karena semua acara yang ada dalam rangkaian tahlil boleh dilakukan dan tidak satupun yang terlarang[11].
Adapun dalam HR. Ahmad: Nabi Muhammad saw. menyuruh sahabat untuk
memperbaiki iman dengan memperbanyaklah mengucapkan La Ilaha Illallah.
b.
Membaca Istighfar
Dari HR. Al-Hakim dan Baihaqi bahwa pahala bagi
orang yang memperbanyak istighfar adalah Allah menjadikan untuknya kebahagiaan
dari setiap kesusahan, menjadikan jalan keluar dari setiap kesempitan dan
memberikan rizki dari Allah yang tak terduga[12]..
c.
Berzanzi, Diba’an, Burdahan dan manaqiban
Kalau kita melihat lirik sya’ir maupun prosa yang
terdapat dalam kitab al-Barzanji seratus persen isinya memuat biografi, sejarah
hidup, dan kehidupan Rasulullah. Demikian pula yang ada didalam kitab Diba’ dan
Burdah. Kitab ini yang berlaku bagi orang-orang NU dalam melakukan ritual
Mauludiyyah atau menyambut kelahiran Rasulullah. Yang satunya khusus puji-pujian untuk Sulthanul Auliya, Syaikh Abdul Qodir al-Jilany.
Akan tetai, dalam praktiknya, al-Barzanji, ad-Diba’i, kasidah Burdah dan
Manaqib (Syaikh Abdul Qadir Jilany) sering dibaca ketika ada hajat anak lahir,
hajat menantu, khitanan, tingkeban, masalah yang sulit terpecahkan, musibah
yang berlarut-larut, dan lain-lain. Yang tak ada maksud lain mohon berkah
Rasulullah akan terkabul semua yang dihajatkan.
Umumnya, acara berzanji/Diba’an/Burdahan/Manaqiban
dilakukan pada malam hari sehabis shalat isay’. Akan tetapi, banyak juga warga
NU yang mempunyai tradisi kalau acara anak lahir disore hari, habis shalat
ashar, dan bahkan ada berzanjen di siang bolong[13].
d.
Suwuk atau Mantra
e.
Tawassul
Tawassul itu artinya perantaraan. Kalau kita tak
sanggup menghadap langsung, kita perlu seorang perantara[14].
f.
Tabarruk, yaitu mengharap berkah
Dari HR. Bukhari, contoh bahwa seorang sahabat ingin
mengaharap berkah dengan meminta burdah yaitu selimut yang dibordir bagian
tepinnya[15].
g.
Membaca shalawat
Dari HR. At-Tirmidzi dan dishahihkan Ibn Hibban
bahwa keutamaan atau pahala bagi orang yang bershalawat adalah akan bersama
nabi Muhammad di hari kiamat.
h.
Membaca ayat ahir al-Baqarah
Perintah untuk mengajar dan belajar 2 ayat ahir
surat al-Baqarah kepada istri-istri
dan anak-anakmu, bahwa sesungguhnya ayat itu adalah shalat (rahmat) Qur’an dan doa.
i.
Mencium Tangan Orang Shalih
Mencium tangan orang shaleh, penguasa yang bertakwa
dan orang kaya yang saleh adalah perkara yang mustahabb (sunah) yang disukai
Allah, berdasarkan hadist-hadist nabi atsar para sahabat. Teknik mencium tangan
tidak boleh melebihi posisi orang yang sedang rukuk[16].
j.
Dzikir berjama’ah
Dari HR. Muslim bahwa orang yang apabila berdzikir
berjama’ah akan dikerumuni oleh malaikat, diliputi rahmat dan ketentraman, dan
Allah akan menyebut-menyebut mereka kepada para malaikat disisinya.
k.
Membaca surat al-Ikhlas itu setara dengan
membaca sepertiga al-Qur’an.
l.
Membaca tasbih dan tahmid
Bahwa 2 kalimat yang ringan
dilisan, yang (namun) berat di mizan, yang membuat senang ar-Rahman adalah
lafadz atau membaca “subhanallahi
wabihamdihi subhanallahil ‘adzim”(HR. Bukhari dan Muslim). Dan apabila
membaca sebanyak 100 kali maka akan dihapuskan kesalahan-kesalahannya meskipun
sebanyak buih lautan.
m.
Peringatan Maulid Nabi
Peringatan Maulid Nabi Muhammad saw. Seorang nabi
yang diutus oleh Allah dengan membaca sebagian ayat al-Qur’an dan menyebutkan
sebagian sifat-sifat nabi yang mulia, ini adalah perkara yang penuh berkah dan
kebaikan yang agung, jika memang perayaan tersebut terhindar dari bid’ah
sayyiah yang dicela oleh syara’[17].
n.
Istighasat dan Mujahadah
Istighasah artinya meminta pertolongan. Mujahadah
artinya mencurahkan segala kemampuan untuk mencapai sesuatu. Istighasah dan
mujahadah bagi umat Islam sudah ada sejak nabi ketika dia menghadapi perang
Badar, juga musibah dan bencana lainnya[18].
o.
Mengeraskan suara ketika berdzikir
p.
Ziarah kubur,
q.
Dan lain-lain.
Berikut ini Budaya yang ada
di Indonesia[19]:
a.
Budaya melumuri bayi dengan minyak Za’faran
saat aqiqah pada hari ketujuh dan mencukur rambut bayi
b.
Mengadakan Haflah (resepsi) pernikahan,
memainkan musik, dan menghias pengantin
c.
Penyerahan Pengantin, baik pria atau wanita,
dengan nasehat-nasehat yang baik
d.
Melamar wanita untuk dinikahi
e.
Menyerahkan mahar nikah
f.
Puasa Asyura penghitungan kalender Masehi, dan lain-lain.
4. Tradisi
dan Budaya Menurut Pandangan NU
Tradisi yang dimaksud
tingkah laku (behavior), kebiasaan, dan aturan-aturan tidak tertulis yang
dipegang teguh oleh para kiai NU, naik dalam kehidupam berorganisasi maupun
bermasyarakat sebagai sebagai konsekuensi dari ajaran Islam yang dipelajari dan
diajarkannya. Dalam konteks ini, tradisi, meminjam beberapa variabel yang
digunakan sebagai kompleksitas ide, gagasan, nilai-nilai, moral dan peraturan
wujud ideal dari kebudayaan yang sifatnya abstrak yang lokasinnya terletak
dalam alam pikiran manusia warga masyarakat[20].
Tradisi
menghormati dan menempatkan kedudukan
ulama’ yang dianggap paling senior pada posisi paling atas secara tidak
disadari telah dirintis jauh sebelum lahirnya NU. Tradisi semacam itu sangat
memungkinkan terpeliharannya kekompakan, keutuhan dan terhapusnya ancaman, perpecahan, serta
kemungkinan rebutan kedudukan. Misalnya, khusus jabatan Rais Am (jabatan tertinggi dilingkungan NU).
Jelaslah
bahwa aturan tidak tertulis yang diberlakukan bagi penempatan seorang Rais Am
memerlukan beberapa persyaratan, antara lain: a.) ulama’ yang paling masyhur,
paling dalam ilmu agamannya, tingi derajat kemuliaannya, dan paling sepuh
usiannya, b.) ulama’ yang memimpin pondok pesantren, c.) ulama’ yang tidak
ambisius, tetapi tidak menolak tanggung jawab. Inilah salah satu tradisi yang
menjadi kekuatan NU[21].
Manusia
adalah tradisi pembacaan sejarah (tarikh) Rasulullah saw, sahabat dan ahli
baitnya, serta diselingi pujian kepada mereka, shalawat dan do’a. Adapun
merayakannya tiap bulan Rabi’ul Awal, yakni bulan kelahirannya adalah bertujuan
memperlithatkan cinta kepada beliau dibulan kelahiranya. Dan yang paling fundamental adalah
dapat menambah rasa cinta kepada Rasulullah dan diharapkan mendapat syafa’atnya
kelak dihari kiamat[22].
Para
ulama’ NU memandang peringatan Maulid Nabi ini
sebagai bid’ah (perbuatan yang dizaman Nabi
tidak ada) namun, termasuk bid’ah hasanah (bid’ah yang baik) yang diperbolehkan
Islam. Banyak amalan seorang Muslim yang dizaman nabi tidak ada dan sekarang
dilakukan umat Islam, antara lain: berzanjenan, diba’an, yasinan, tahlilan (bacaan tahlilnya tidak bid’ah, sebab Rasulullah sendiri sering
membacannya), mau’izah hasanah pada acara temanten dan muludan[23].
Budaya
lokal tidak bisa saja ditolak tatkala kita membicarakan perkembangan Islam di
Indonesia sudah tidak lagi murni Islam, tetapi sudah berubah menjadi Islam
budaya. Menurut mereka Islam adalah Islam dan budaya adalah budaya dan
keduannya tidak bisa disatukan atau dicampur
adukan. Dan mudah saja kita tebak, mereka akan menunjuk budaya selametan atau kenduri sebagai
contoh yang terlarang, mencampur adukkan Islam dengan budaya. Islam dengan
versi mereka akan terlihat kaku dan sama sekali tidak fleksibel.
NU
sebagai ormas Islam tradisionalis yang fleksibel dengan prinsip dan semangat
dakwah dengan hikmah yang menerima budaya tidak bisa saja di cap sesat atau dianggap sebagai penolong tradisi Jahiliyyah seperti yang dituduhkan orang-orang bodoh yang
sok ahli tauhid was-sunnah.
BAB III
PENUTUP
Dari kesimpulan
makalah , bahwa tradisi dan budaya :
1.
Tradisi memiliki arti adat kebiasaan turun temurun yang masih
dijalankan dimasyarakat dengan anggapan tersebut bahwa cara-cara yang ada
merupakan yang paling baik dan benar.
Budaya memiliki arti sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan dan sukar
untuk dirubah.
NU memiliki arti Jam’iyyah Diniyah yang berhaluan
Ahlussunnah Wal Jama’ah yang didirikan pada tanggal 16 Rajab 1344 H atau
bertepatan pada tanggal 31 Januari 1926 M di Surabaya yang bergerak dibidang
ekonomi, pendidikan, dan sosial.
2.
Latar belakang yang membuat tradisi dan budaya di
Indonesia adalah berasal dari Hindu-Budha yang ada sejak dahulu dari budaya
Jawa.
3.
Tradisi dan budaya yang ada di Indonesia yaitu:
tahlilan, membaca shalawat, suwuk atau mantra, acara tujuh bulanan, dan
lain-lain.
4.
Menurut pandangan NU bahwa tradisi dan budaya yang
ada adalah bid’ah Hasanah yaitu sesuatu yang baik.
Mudah-mudahan makalah yang
saya buat bermanfaat bagi pembaca dan apabila ada salah kata maupun tulisan
yang kurang berkenan saya haturkan mohon maaf.
DAFTAR PUSTAKA
Abdillah,
Abu. 2011. Argumen Ahlussunnah Wal Jama’ah. Tangerang Selatan: Pustaka
Ta’awun.
Anwar,
Ali. 2004. “ADVONTURISME” NU. Bandung: Humaniora Utama Press (HUP).
Departement
Pendidikan Indonesia. 2007. Kamus Besar Bahasa Indonesia.
Jakarta: Balai Pustaka.
Fattah, Munawir Abdul. 2006. Tradisi
orang-orang NU. Yogyakarta: PT. LkiS Pelangi Aksara.
Hanafi,
Hasan. 2004. Islamologi 2 dari Rasionalisme ke Empirisme.
Yogyakarta: LkiS Yogyakarta.
Marzuqi,
A. Idris. 2011. Dalil-Dalil Aqidah dan Amaliyah Nahdliyyah.
Lirboyo: Tim Kodifikasi LBM PPL.
Muhammad,
Nurhidayat. 2012. Lebih Dalam Tentang
NU. Surabaya: Bina Aswaja.
Munthoha.
1998. Pemikiran dan Peradilan Islam. Yogyakarta: UIII Press.
Sunadi.
2011. Ahlussunnah Wal Jama’ah Materi Dasar Nahdlatul Ulama’
(MDNU). Jepara: Pimpinan Cabang Ma’arif NU.
[3] Hasan Hanafi, Islamologi 2 dari Rasionalisme ke Empirisme,
( Yogyakarta: LkiS Yogyakarta, 2004). Cet. 1.hlm. 5.
[6] SUNADI,dkk, Ahlussunnah Wal Jamaah Materi Dasar
Nahdlatul ‘Ulama’(MDNU), (Jepara: Pimpinan Cabang Lembaga Pendidikan
Ma’arif NU, 2011).hlm.2.
[7] Abu Abdillah, Argumen Ahlussunnah Wal Jamaah,
(Tangerang Selatan: Pustaka Ta’awun, 2011).cet,II. Hlm.v.
[10] A. Idris Marzuqi,
Dali-dalil Aqidah dan Amaliyah Nahdliyyah, (Lirboyo:Tim Kodifikasi LBM
PPL,2011). Cet, 3.hlm.56.
Assalamualaikum mbk.. Mbk aku tertarik dg makalah yg embak buat..
BalasHapusmasyaAllah setuju
BalasHapusmau bertanya. ini ko. bertentangan dengan hukum shari,at tentang
BalasHapusMengadakan Haflah (resepsi) pernikahan, memainkan musik, dan menghias pengantin
yang saya tanyakan memainkan musik itu kok di budayakan oleh aswaja padahal itu bertentangn dengan syariat?
dan tolong kalo ada landasan yang memperbolehkan. lengkapin dengan dalilnya?