Hibah dapat diperhitungkan sebagai warisan

NAMA : Nailus Syarifah
NIM : 141410000406
PRODI : al-Ahwal al-Syakhshiyyah
SEMESTER : VII
FAKULTAS : Syari’ah dan Hukum
HIBAH DAPAT DIPERHITUNGKAN SEBAGAI WARISAN
Kata hibah berasal dari bahasa Arab yang secara etimologi berarti melewatkan atau menyalurkan, dengan demikian berarti telah disalurkan dari tangan orang yang memberi kepada tangan orang yang diberi (Lubis dan Simanjuntak, 2009:43).
Menurut Kompilasi Hukum Islam yang dimaksud hibah adalah pemberian suatu benda secara sukarela tanpa imbalan dari seseorang kepada orang lain yang masih hidup untuk dimiliki. Hukum kewarisan adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan beberapa bagiannya masing-masing.
Adapun hibah, merupakan pemberian dari seseorang pemberi hibah kepada orang lain sebagai penerima hibah ketika si pemberi hibah (yang punya harta) masih hidup, sedangkan warisan diberikan ketika si pewaris (yang punya harta) telah meninggal dunia. Walaupun waktu pemberiannya berbeda namun keduanya memiliki hubungan yang sangat erat terutama hibah itu diberikan kepada anak atau ahli waris karena akan menentukan terhadap bagian warisan yang akan diterimanya.
Dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 211 hibah dari orang tua kepada anaknya dapat diperhitungkan sebagai warisan. Prinsip pelaksanaan hibah orang tua kepada anak sesuai dengan petunjuk Rasulullah SAW. hendaknya bagian mereka disamakan.
Hukum hibah adalah mandhub (dianjurkan). Adapun yang disunnahkan agar orang tua tidak membeda-bedakan sebagian anak dengan sebagian yang lain dalam hibah. Jika dia membedakan antara anak-anaknya dalam hibah, maka akad hibahnya tetap sah (Azzam, 2010: 446).
Pada dasarnya setiap orang dapat menghibahkan (barang milik) sebagai penghibah kepada siapa yang ia kehendaki ketika penghibah dalam keadaan sehat wal afiat. Hibah dilakukan oleh penghibah tanpa pertukaran apapun dari penerima hibah. Hibah dilakukan secara sukarela demi kepentingan seseorang atau demi kemaslahatan ummat (Sudarsono, 1991: 103).
Menurut hukum Islam, hibah kepada yang sediannya berhak atas harta warisan pada waktu hidup pewaris tidak dipandang sebagai kewarisan. Namun, jika terjadi orangtua memberikan sesuatu kepada salah seorang anaknya, padahal harta peninggalannya cukup banyak, ajaran Islam tentang wajib berbuat adil dalam memberikan hibah kepada anak dapat menjadi pertimbangan apakah kepada anak lainnya harus diberikan juga hibah yang diambilkan dari harta peninggalan (Basyir, 2001: 149).
Misalnya, sebelum harta peninggalan dibagi terlebih dulu diambil sebagian untuk diberikan sebagai hibah kepada anak yang belum pernah menerima hibah dari orang tua mereka. Jika ternyata harta peninggalannya hanya sedikit, kiranya tidak salah jika hibah orang tua itu sebagian diperhitungkan sebagai bagian warisannya jika tidak mungkin menarik kembali hibah yang pernah diberikan kepada salah seorang ahli waris pada saat hidup pewaris itu (Basyir, 2001: 149-150).
Persoalannya sekarang, hibah yang diberikan seseorang kepada anak-anaknya itu dianggap sebagai warisan, ataukah sebagai hibah biasa. Keduanya memiliki implikasi hukum yang berbeda. Pertama, apabila hibah itu diperhitungkan sebagai warisan, sangat tergantung pada kesepakatan anak-anaknya, atau diperhitungkan menurut sistem kewarisan. Kedua, apabila pemberian itu dinyatakan sebagai hibah saja, maka menurut petunjuk Rasulullah SAW. maka pembagiannya harus rata. Ini ditegaskan oleh tindakan nabi, “ jika anak-anakmu yang lain tidak engkau beri dengan pemberian yang sama, maka tarik kembali (Rofiq, 2000: 475).”
Hukum waris Islam apabila diterapkan sesuai dengan ketentuan kitab fiqh klasik masih menimbulkan berbagai masalah bila dihadapkan dengan realitas sosial masyarakat Indonesia, antara lain:
(1) Hak waris anak laki-laki dan anak perempuan adalah 2 :1 dianggap sudah final karena landasan hukumnya qat’i al-wurud dan qat’i al-dilalah sehingga tidak bisa ditafsirkan lain, tetapi kenyataan masyarakat muslim Indonesia ada kecenderungan tidak ingin membeda-bedakan pemberiannya baik terhadap anak laki-laki maupun anak perempuan, adapun kalangan masyarakat muslim yang tetap konsisten melakukan pembagian warisan 2 : 1 sepertinya lebih cenderung kepada bentuk kepatuhan dan ketaatannya terhadap ajaran agama, bukan dilandasi oleh kesadaran hukumnya.
Sehubungan dengan itu banyak kalangan masyarakat muslim yang taat terhadap agamanya membagi-bagikan harta mereka sewaktu masih hidup kepada anak-anaknya, tanpa membeda-bedakan bagian anak laki-laki dan perempuan sehingga yang menjadi harta warisan hanya sebagian kecil saja. Hal ini tiada lain hanyalah sebagai bentuk “menghindari” pembagian dari sistem bagi waris 2 : 1 dan lebih mengarah kepada pembagian warisan 1 : 1.
Membagi-bagikan harta dengan bentuk hibah sewaktu pewaris masih hidup, dengan maksud dan tujuan agar bagian anak laki-laki dan anak perempuan memperoleh bagian yang sama tidak dapat disalahkan, bahkan hal itu merupakan sebuah solusi dalam hukum waris Islam.
 (2) Ahli waris Non muslim tidak mewarisi pewaris muslim.
Dasar hukum ahli waris non muslim tidak mewarisi pewaris muslim adalah hadits dari Usamah bin Zaid, bahwa Nabi SAW bersabda yang artinya : ” Seorang muslim tidak mewarisi dari seorang kafir, (demikian juga) seorang kafir tidak mewarisi dari seorang muslim (Sabiq, 1997: 267).”
Menurut hukum waris Islam yang selama ini diterapkan di lingkungan Peradilan Agama, ahli waris non muslim tidak akan mendapat harta warisan dari pewarisnya yang muslim atas dasar hadis di atas.
Demikin juga pasal 171 huruf (b) dan (c) Kompilasi Hukum Islam, menyatakan bahwa pewaris dan ahli waris harus beragama Islam.
Apabila hal tersebut di atas tetap dipertahankan maka ada semacam ketidakadilan hukum yang perlu dicarikan solusinya, di antaranya adalah dengan hibah yang harus diberikan oleh orang tua (pewaris muslim) ketika masih hidup kepada ahli warisnya yang non muslim agar kegoncangan sosial dalam sebuah keluarga dapat dihindari.
(3) Anak angkat dan orang tua angkat tidak saling mewarisi karena tidak memiliki hubungan kekerabatan.
Sebagaimana diatur dalam Pasal 209 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam bahwa harta peninggalan anak angkat dibagi berdasarkan Pasal-pasal 176 sampai dengan 193 tersebut diatas, sedangkan terhadap orang tua angkat yang tidak menerima wasiat diberi wasiat wajibah sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta warisan anak angkatnya. Selanjutnya pada ayat (2) KHI bahwa terhadap anak angkat yang tidak menerima wasiat wajibah sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta warisan orang tua angkatnya.
Berkaitan dengan masalah di atas Pasal 211 KHI telah memberikan solusi, yaitu dengan cara hibah yang diberikan orang tua kepada anaknya dapat diperhitungkan sebagai warisan. Pengertian “dapat “ dalam pasal tersebut bukan berartai imperatif (harus), tetapi merupakan salah satu alternatif yang dapat ditempuh untuk menyelesaikan perselisihan atau sengketa warisan. Sepanjang para ahli waris tidak ada yang mempersoalkan hibah yang sudah diterima oleh sebagian ahli waris, maka harta warisan yang belum dihibahkan dapat dibagikan kepada semua ahli waris sesuai dengan bagiannya masing-masing. Tetapi apabila ada sebagian ahli waris yang mempersoalkan hibah yang diberikan kepada sebagian ahli waris lainnya, maka hibah tersebut dapat diperhitungkan sebagai harta warisan, dengan cara memperhitungkan hibah yang sudah diterima dengan bagian warisan yang seharusnya diterima. Apabila hibah yang sudah diterima masih kurang dari bagian warisan maka tinggal menambah kekurangannya, dan sebaliknya apabila hibah tersebut melebihi dari bagian warisan maka kelebihan hibah tersebut dapat ditarik kembali untuk diserahkan kepada ahli waris yang kekurangan dari bagiannya.
Oleh sebab itu, hibah dapat diperhitungkan sebagai warisan apabila para ahli waris sama-sama rela dengan adanya pembagian warisan ketika pewaris masih hidup dan tidak akan terjadi masalah dikemudian hari yang menyebabkan hibah yang sudah dibagikan diambil kembali oleh para ahli waris si pewaris (mayit).

DAFTAR PUSTAKA
Azzam, Abdul Aziz Muhammad. 2010.  Fiqih Muamalat Sistem Transaksi dalam Fiqh Islam”. Jakarta: Amzah.
Basyir, Ahmad Azhar. 2001. Hukum Waris Islam. Yogyakarta: UII Press.
Lubis, Suhrawardi K. dan Simanjuntak, Komis. 2009. Hukum Waris Islam. Jakarta: Sinar Grafika.
Rofiq, Ahmad. 2000. Hukum Islam Di Indonesia. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Sabiq, Sayyid. 1997. Fiqh Sunnah Edisi ke-14. Bandung: Al-Ma’arif.
Sudarsono. 1991. Hukum Kewarisan Islam dan Sistem Bilateral. Jakarta: PT. Rineka Cipta.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

makalah Semester 1 : Tradisi dan Budaya Menurut Pandangan NU

karakteristik Akhlak Islam dan Hubunganya dengan Ilmu lainnya.

makalah Tarikh Tasyri' pada masa Modern, tokoh-tokohnya dan sejarahnya