PEMERIKSAAN DALAM PERSIDANGAN , tahapan, pencabutan dan perubahan serta perdamaian

PEMERIKSAAN DALAM PERSIDANGAN






MAKALAH
PEMERIKSAAN DALAM PERSIDANGAN
Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah:
Hukum Acara PA dan Administrasi PA
Dosen Pengampu: Wahidullah, S.H.I., M.H.
UNISNU







                                                  

Disusun Oleh :

Nailus Syarifah    (141410000406)




AL-AHWAL AL SYAKHSIYYAH
FAKULTAS SYARI’AH DAN ILMU HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NAHDHLATUL ULAMA (UNISNU) JEPARA
2016






A.  PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Dalam suatu perkara, apabila  penggugat  telah memasukkan gugatan dalam daftar pada Kepaniteraan Pengadilan dan melunasi biaya perkara, maka ia tinggal menunggu pemberitahuan hari sidang. Gugatan itu tidak akan didaftar apabila biaya perkara belum dibayar (Pasal 121 ayat 4 HIR, 145 ayat 4 Rbg). Oleh sebab itu, setelah gugatan didaftarkan dan dibagikan dengan surat penetapan penunjukan, maka akan dilakukan pemeriksaan di persidangan. Untuk itu, penulis ingin membahas tentang tahap-tahap dalam persidangan, pencabutan dan perubahan gugatan serta perdamaian.
2. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dari pembahasan dibawah ini adalah:
a. Bagaimana tahap-tahap di persidangan?
b. Bagaimana perubahan dan pencabutan gugatan?
c. Bagaimana perdamaian dalam pemeriksaan persidangan?
3. Tujuan Penulisan
a. Untuk mengetahui tahap-tahap dalam persidangan.
b. Untuk mengetahui pencabutan dan perubahan gugatan.
c. Untuk mengetahui perdamaian dalam pemeriksaan persidangan.











B.  PEMBAHASAN
1.    Tahap-Tahap Pemeriksaan
Sebelum penulis menguraikan tahap-tahap pemeriksaan perkara, maka akan digambarkan terlebih dahulu secara global tentang jalanya sesuatu perkara sejak ia terdaftar di Kepaniteraan Pengadilan sampai ia diputus sebagai berikut (Rasyid, 2005: 133) :
Setelah perkara terdaftar di Kepaniteraan, Panitera melakukan penelitian terhadap kelengkapan berkas perkara. (Ingat, penelitian terhadap bentuk dan isi surat gugatan atau permohonan sudah dilakukan sebelum perkara didaftarkan dan ia merupakan prasyarat untuk bolehnya perkara didaftarkan).
Pada sidang pertama, penggugat akan membacakan gugatannya, sehingga mulailah terjadinya jawab-berjawab (replik-duplik) antara pihak-pihak. Pada sidang pertama, mungkin akan terjadi beberapa hal penting seperti aksepsi, reconventie, intervensi dan sebagainya. Sebelum tergugat menjawab, sesudah penggugat membacakan gugatanya, hakim wajib menganjurkan damai (Rasyid, 2005: 134).
Selesai replik-duplik maka mulai memeriksa bukti-bukti. Selanjutnya penyusunan konklusi (kesimpulan) masing-masing oleh pihak  dan akan diucapkan keputusan oleh majelis hakim dalam sidang terbuka untuk umum.
Proses pemeriksaan perkara perdata di depan sidang dilakukan melalui tahap-tahap dalam hukum acara perdata, setelah hakim terlebih dahulu berusaha dan tidak berhasil mendamaikan para pihak yang bersengketa. Tahap-tahap pemeriksaan tersebut ialah (Arto, 2011: 99) :
a.    Pembacaan gugatan
Setelah pembacaan gugatan, maka sebaiknya diajukan damai terlebih dahulu. Pengajuan surat gugatan ddilakukan oleh penggugat melalui kuasa hukumnya, kecuali penggugat buta huruf maka diwakili oleh kuasa Panitera sidang (Rasyid, 2005: 100).
Pada tahap pembacaan gugatan, maka pihak penggugat berhak meneliti ulang apakah seluruh materi sudah benar dan lengkap. Hal-hal yang tercantum dalam surat gugat itulah yang menjadi objek pemeriksaan dan pemeriksaan tidak boleh keluar dari ruang lingkup yang termuat dalam surat gugatan (Arto, 2011: 85).
Pada tahap ini terdapat beberapa kemungkinan dari penggugat/pemohon, yaitu: mencabut gugatan, mengubah gugatan, dan mempertahankan gugatan (jika penggugat tetap mempertahankan gugatanya maka sidang dilanjutkan ketahap jawaban tergugat).
b.    Jawaban tergugat
Pada tahap jawaban ini, pihak tergugat diberi kesempatan untuk membela diri dan mengajukan segala kepentinganya terhadap penggugat melalui hakim (Arto, 2011: 85).
Di dalam HIR tidak ada ketentuan yang mewajibkan tergugat untuk menjawab gugatan penggugat. Pasal 121 ayat 2 HIR (pasal 145 ayat 2 Rbg) hanya menentukan bahwa tergugat dapat menjawab baik secara tertulis maupun lisan. Jawaban tergugat dapat berupa pengakuan, tetapi dapat juga berupa bantahan (verweer) (Mertokusumo, 2010: 165).
c.    Replik penggugat
Setelah tergugat menyampaikan jawabanya, kemudian si penggugat diberi kesempatan untuk menanggapinya sesuai dengan pendapatnya. Dalam tahap ini mungkin penggugat tetap mempertahankan gugatanya dan menambah keterangan yang dianggap perlu untuk memperjelas dalil-dalilnya, atau mungkin juga penggugat merubah sikap dengan membenarkan jawaban/bantahan tergugat (Arto, 2011: 108).
d.      Duplik Tergugat
Setelah penggugat menyampaikan repliknya, kemudian tergugat diberi kesempatan untuk menanggapi pula. Dalam tahap ini mungkin tergugat bersikap seperti penggugat dalam repliknya tersebut (Arto, 2011: 108).
Acara replik dan duplik (jawab-menjawab) ini dapat diulangi sampai ada titik temu antara penggugat dan tergugat, dan/atau dianggap cukup oleh hakim.
Apabila acara jawab-menjawab ini dianggap telah cukup namun masih ada hal-hal yang tidak disepakati oleh penggugat dan tergugat sehingga perlu dibuktikan kebenaranya, maka acara dilanjutkan ke tahap pembuktian.
e.      Pembuktian
Pada tahap ini, baik penggugat maupun tergugat diberikan kesempatan yang sama untuk mengajukan bukti-bukti lainnya secara bergantian yang diatur oleh Hakim (Arto, 2011: 109).
f.          Kesimpulan/konklusi
Pada tahap ini, baik penggugat maupun tergugat diberikan kesempatan yang sama untuk mengajukan pendapat akhir yang merupakan kesimpulan hasil pemeriksaan selama sidang berlangsung (Arto, 2011: 109).
g.    Putusan hakim
Pada tahap ini hakim merumuskan duduknya perkara dan pertimbangan hukum (pendapat hakim) mengenai perkara tersebut disertai alasan-alasanya dan dasar-dasar hukumnya, yang diakhiri dengan putusan hakim mengenai perkara yang diperiksanya itu (Arto, 2011: 109).
Di dalam putusan hakim yang perlu diperhatikan adalah pertimbangan hukumnya, sehingga siapapun dapat menilai apakah putusan yang dijatuhkan cukup mempunyai alasan yang objektif atau tidak. Di samping itu, pertimbangan hakim adalah penting dalam pembuatan memori banding dan memori kasasi (Soeroso, 2011: 134).
2.    Perubahan dan Pencabutan Gugatan
Perubahan dan atau penambahan gugatan diperkenankan, asal diajukan pada hari sidang pertama di mana para pihak hadir, tetapi hal tersebut harus ditanyakan pada pihak lawan guna pembelaan kepentingannya (Arto, 2011: 98).
Perubahan gugatan maksudnya adalah perubahan tentang tuntutanya (Rasyid, 2005: 120). HIR dan R.Bg tidak mengatur tentang perubahan gugatan yang telah diajukan oleh penggugat. Oleh karena itu, hakim leluasa untuk menentukan sampai sejauh mana perubahan itu dapat dilakukan oleh pihak penggugat. Sebagai patokan ditentukan bahwa perubahan surat gugat itu diperkenankan asalkan kepentingan kedua belah pihak harus tetap dijaga dan tidak menimbulkan kerugian pada kedua belah pihak. Apabila surat gugat itu dirubah oleh pihak penggugat. Disamping itu Mahkamah Agung Republik Indonesia dalam putusan kasasi No. 209 K/Sip/1970 tanggal 6 Maret 1971 mempertimbangkan bahwa perubahan gugatan tidak bertentangan dengan asas-asas hukum acara perdata, asal tidak mengubah atau menyimpang dari kejahatan materiil walaupun tidak ada tuntutan subsider (Manan, 2008: 44)
Pencabutan gugatan, baik penggugat sendirian atau bersama-sama, boleh saja dilakukan, asal dengan cara tertentu. Kalau penggugat terdiri dari beberapa orang, ada yang mencabut dan ada yang tidak maka pencabutan hanya berlaku bagi yang mencabut saja, sedangkan perkara tetap jalan (Rasyid, 2005: 117).
Dalam KHI Pasal 50 ayat 5 menjelaskan pencabutan perjanjian perkawinan mengenai harta tidak boleh merugikan perjanjian yang telah diperbuat sebelumnya dengan pihak ketiga (KHI, 2012: 15 ). 
3.    Perdamaian
Perdamaian adalah suatu perjanjian dengan mana kedua belah pihak, dengan menyerahkan, menjanjikan atau menahan suatu barang, mengakhiri suatu perkara yang sedang bergantung ataupun mencegah timbulnya suatu perkara. Perjanjian ini tidaklah sah, melainkan jika dibuat secara tertulis (Subekti dan Tjitrosudibio, 2004: 468-469).
Perdamaian menurut pasal 39 ayat 1 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 jo. Pasal 31 ayat 2 dan pasal 33 peraturan pemerintah No. 9 Tahun 1975 dapat dilakukan oleh Hakim pada setiap sidang persidangan (Latif, 1983: 104).
Kalau pada hari sidang yang telah ditentukan kedua belah pihak hadir, maka hakim harus berusaha mendamaikan mereka (Pasal 130 HIR, 154 Rbg). Pada saat inilah hakim dapat berperan aktif sebagaimana dikehendaki oleh HIR. Untuk keperluan perdamajan itu sidang lalu diundur untuk memberi kesempatan mengadakan perdamaian. Apabila mereka berhasil mengadakan perdamaian, maka hakim menyampaikan hasil perdamaian di persidangan melalui surat perjanjian di bawah tangan yang di atas kertas bermaterai, untuk itu kedua belah pihak harus memenuhi isi perdamaian yang telah dibuat (Mertokususmo, 2010: 154).















C.  PENUTUP
1. Kesimpulan
Adapun kesimpulan dari makalah ini, yaitu:
a. Tahap-tahap dalam pemeriksaan perkara meliputi: pembacaan gugatan, jawaban tergugat, replik penggugat, duplik tergugat, pembuktian, kesimpulan dan putusan hakim
b. Dalam perubahan gugatan tidak boleh lain dari gugatan pokok yang telah menjadi materi dari sebab perkara antara kedua belah pihak. Dan gugatan dapat dicabut secara sepihak apabila perkara belum diperiksa. Tetapi jika sudah diperiksa dan tergugat telah memberi jawabanya, maka pencabutan perkara harus mendapat persetujuan dari tergugat (pasal 272, 271 R. V).
c. Dalam perdamaian itu hakim mengupayakan kedua belah pihak, yaitu antara penggugat dan tergugat terlebih dahulu untuk berdamai agar dalam suatu perkara tidak terjadi perselisihan, dan apabila setuju harus dibuatkan perjanjian secara tertulis yang akan dibuatkan oleh hakim. 
2. Saran
Demikianlah makalah yang penulis buat, kritik dan saran mohon diberikan agar dapat membuat karya ilmiah khususnya makalah dengan lebih baik lagi.











DAFTAR PUSTAKA

Arto, Mukti. 2011. Praktek Perkara Perdata Pada Peradilan Agama. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Latif, M. Djamil. 1983. Kedudukan dan Kekuasaan Peradilan Agama di Indonesia. Jakarta: N.V. Bulan Bintang.
Manan, Abdul. 2008. Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Mertokusumo, Sudikno. 2010. Hukum Acara Perdata Indonesia. Yogyakarta: Universitas Atmajaya.
Rasyid, Roihan A. 2005. Hukum Acara Peradilan Agama. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Soeroso, R. 2011. Praktik Hukum Acara Perdata Tata Cara dan Proses Persidangan. Jakarta: Sinar Grafika.
Subekti, R dan Tjitrosudibio. 2004. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Jakarta: PT. Pradnya Paramita.
Tim Nuansa Aulia. 2011. Kompilasi Hukum Islam. Bandung: Nuansa Aulia.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

makalah Semester 1 : Tradisi dan Budaya Menurut Pandangan NU

karakteristik Akhlak Islam dan Hubunganya dengan Ilmu lainnya.

makalah Tarikh Tasyri' pada masa Modern, tokoh-tokohnya dan sejarahnya