SUMBER-SUMBER HUKUM PIDANA ISLAM, FIQH JINAYAH
SUMBER-SUMBER HUKUM PIDANA ISLAM
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Islam adalah sebuah agama dan jalan hidup yang
didasarkan pada perintah Allah yang terdapat dalam Al-qur’an dan hadis.
Merupakan
suatu kewajiban bagi setiap orang islam untuk berpegang hidup pada Al-qur’an
dan hadis, maka ia harus mengamati pada dua hal yang menjadi batasan yakni apa
yang benar dan apa yang salah.
Hal ini untuk kepentingan kita mengetahui hukum
syariah.
Hukum syariah tentang pidana adalah ketentuan
yang mengatur tentang perbuatan-perbuatan kejahatan terhadap badan, jiwa,
kehormatan, akal , dan sebagainya.
Perbuatan pidana dilihat dari pola penjatuhan
sanksi-sanksi, atau hukumnya, diklasifikasikan menjadi tiga kategori tentang
perbuatan tersebut diatas yaitu: Hudud , jinayah, dan ta’zir.
Hukum pidana islam merupakan bagian dari hukum
islam. Maka jelas sumber-sumber pidana Islam diambil dari sumber-sumber hukum
islam itu sendiri.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Sumber Hukum Pidana Islam
1. Al-qur’an Sumber Hukum Pidana Islam Pertama
a. Larangan berbuat zina dan hukumanya
Al-isra’
:32
“Dan janganlah kamu
mendekati zina, Sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan
suatu jalan yang buruk.”
Ayat
diatas mengandung larangan untuk mendekati zina karena zina merupakan perbuatan
yang keji dan suatu jalan yang buruk.
Menurut pandangan hukum islam, perbuatan zina
merupakan dosa besar yang dilarang keras oleh Allah SWT. Allah telah memberi
predikat terhadap perbuatan zina melalui ayat tersebut sebagai perbuatan yang
merendahkan harkat, martabat, dan kehormatan manusia. Karena demikian bahayanya
perbuatan zina, maka sebagai langkah pencegahan maka Allah juga melarang
perbuatan yang mendekati atau mengarah kepada zina.
An-Nur:2
“
Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, Maka deralah tiap-tiap
seorang dari keduanya seratus kali dera, dan janganlah belas kasihan kepada
keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman
kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka
disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman.”
Ayat diatas menerangkan bahwa Allah
memerintahkan mendera pezina perempuan dan pezina laki-laki masing-masing
seratus kali, Orang yang beriman dilarang berbelas kasihan kepada keduanya
untuk melaksanakan hukum Allah SWT dan pelaksanaan hukuman tersebut disaksikan
oleh sebagian orang-orang beriman.
Pelaku zina dibedakan menjadi dua yaitu muhson (sudah
menikah) dan ghairu muhson (belum menikah).
Dalam pandangan islam, zina merupakan perbuatan
kriminal yang dikategorikan hukuman hudud, yakni sebuah jenis hukuman atas
perbuatan maksiat yang menjadi hak Allah SWT. Tidak ada seorang pun yang berhak
memaafkan kemaksiatan zina tersebut, baik oleh penguasa atau pihak yang berkaitan.
Berdasarkan QS.An-Nur diatas pelaku perzinaan,
baik laki-laki maupun perempuan harus dihukum dera sebanyak 100 kali. Namun
jika sudah menikah maka dirajam.
Dengan sanksi dan hukuman yang begitu berat,
hukum islam sebenarnya mengajarkan kita bagaimana sebagai manusia untuk menjaga
fitrahnya bahwa manusia itu makhluk yang sempurna dan mempunyai akal sehingga
masalah moral dan kesusilaan haruslah dijaga dengan baik.
Negara indonesia seharusnya sudah harus memulai
mengatur dengan tegas permasalahan perzinaan dan mengambil nilai-nilai yang
terkandung dalam hukum islam.
b. Larangan mencuri dan sanksinya
QS.
Al-Maidah:38
“ Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang
mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka
kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”.
Dalam
ayat ini secara jelas dinyatakan alasan penetapan ancaman hukuman yang berat
tersebut, yaitu sebagai pembalasan atas kejahatan apa yang diperbuat dan
ancaman balasan sebagai rasa penolakan dari Allah (Syariffudin, 2003: 298-299).
Mencermati kandungan ayat diatas, jelaslah
bahwa islam memiliki sanksi yang sangat keras bagi umat islam yang melakukan
tindakan kriminal. Padahal konon, islam adalah agama kasih sayang yang membawa
rahmat untuk semesta alam. Dengan sanksi-sanksi yang yang sangat keras tersebut
masihkah islam akan disebut agama kasih sayang dan damai?bukankah jika setiap
pencuri dipotong tangannya akan mengakibatkan kelumpuhan bagi yang
bersangkutan, yang mana hal tersebut berakibat buruk bukan hanya bagi dirinya
tapi juga keluarganya. Bahkan bila potong tangan diterapkan, maka betapa banyak
orang-orang kehilangan tangan atau kaki, yang pada gilirannya akan menyebabkan
kealpaan pada beberapa sektor kerja. Maka pertanyaanya selanjutnya apakah islam
tidak pernah memikirkan dampak negatif yang sangat krusial tersebut? Sebenarnya
islam sudah memikirkan beberapa dampak negatif yang disebutkan diatas. Juga
islam telah menimbang dengan baik efektifitas sanksi yang menjadi vonis bagi
pelaku pencurian. Alasan pemberlakuan hukum potong tangan dalam islam yaitu Pertama,
dampak positif penerapan hukum potong tangan lebih besar dari pada negatifnya.
Kedua, islam sangat menjunjung tinggi terhadap
kemuliaan umat manusia, baik yang berkenaan dengan agama, jiwa, harta,
kehormatan, akal, dan keturunanya. Ketiga, Pengorbanan salah satu organ demi
keselamatan jiwa merupakan hal yang diterima oleh agama dan rasio. Hukuman
potong tangan dapat dijadikan pelajaran yang berharga yaitu menjadikan pelaku
jera dan peringatan bagi orang yang
dalam hatinya tersirat niat hendak mencuri harta orang lain. Dengan demikian ia
tidak berani menjulurkan tangannya mengambil harta orang lain.(Hasan, Saebani,
2013:329).
Oleh karena itu, jika menginginkan negara yang
kondusif dan aman sudah seharusnya memberlakukan hukum potong tangan bagi
seorang pencuri.
2. Hadis Sumber Hukum Pidana Kedua
a. Larangan berzina dan hukumanya
خذوا عني خذوا عني خذوا عني قد جعل الله لهن
سبيلا .البكر بالبكرجلد ماىءة و نفي سنة والثيب بالثيب جلد مىءة والرجم
بالحجارة(رواه مسلم عن عبادة بن صا مت)
“ Terimalah dariku!
Terimalah dariku! Terimalah dariku! Allah telah memeberi jalan kepada mereka
(wanita-wanita yang berzina itu). Bujangan yang berzina dengan bujangan dijilid
seratus kali dan diasingkan selama satu tahun. Dan janda yang berzina dengan
janda dijilid seratus kali dan dirajam dengan batu”.( HR. Muslim dari Ubadah
bin Shamit”.
Berdasarkan
hadis diatas bila seorang jejaka dan seorang perawan berzina, maka sanksinya
adalah seratus kali jilid dan dibuang selama satu tahun. Untuk hukuman jilid
para ulama sepakat untuk dilaksanakan, sedangkan untuk hukuman buang adalah hak
ulil amri. Adapun hukuman rajam menurut fathi bahansi adalah sanksi bersifat
siyasah syar’iyah. Jadi diserahkan kepada kebijaksanaan ulil amri tergantung
kepada kemaslahatan(Djazuli, 2000:42).
b. Larangan mencuri dan sanksinya
لا تقطع يد سا رق الا في ربع دينارا فصا عدا
“ tidak dipotong tangan pencuri, kecuali (nilai
yang dicuri) seperempat dinar atau lebih”(Syarifuddin, 2003:300).
السا رق ان سرق فا قطعوا ايده ثم ان سرق فاقطعوا
رجله ثم ان سرق فاقطعوا ايده ثم ان سرق فاقطعوارجله
“ bila
seorang pencuri itu mencuri untuk pertama kali, maka potonglah tangannya.
Kemudian bila ia mencuri lagi yang
kedua kalinya, maka potonglah kakinya.
Kemudian jika ia mencuri lagi yang ketiga kalinya, maka potonglah tanganya.
Kemudian , bila mencuri untuk yang keempat kalinya, maka potonglah kakinya”(Djazuli,
2000:83).
Pada hadis yang pertama dijelaskan bahwa dalam
hukuman potong tangan bagi pencuri terdapat batas minimal yaitu seperempat
dinar. Demi menjaga dan melindungi harta, sekaligus memandang hina, remeh, dan
rendah terhadap tangan ketika tangan itu berlaku jahat dan hina. Jadi jika
seorang mencuri dibawah seperempat dinar maka tidak ada potong tangan baginya.
Pada
hadis yang kedua bisa diambil hikmah dibalik pemotongan tangan dan kaki adalah pelaku
pencurian dalam melakukan aksinya tangan mengandalkan kaki dan tanganya. Ia
mengambil barang curian dengan menggunakan tanganya dan ia berjalan dengan
menggunakan kakinya, karena itu anggota tubuh yang dipotong adalah tangan dan
kaki. Lalu mengapa pemotongan yang dilakukan adalah dengan cara silang (tangan
kanan, kemudian jika mencuri lagi maka yang dipotong kaki kirinya), yakni agar
ia masih bisa mendapatkan fungsi organ tangan dan kaki, hanya saja sudah tidak
sempurna seperti semula.
c. حرمت
الخمر بعينها قليلها وكثيرها والسكر من كل شراب
“ khamar diharamkan karena bendanya itu
sendiri, baik sedikit maupun banyak, dan diharamkan setiap yang memabukkan dari
setiap minuman”.
Hanya saja,
apabila dalam keadaan darurat kehausan atau dipaksa, maka diberikan rukhsoh
untuk meminumnya sesuai dengan kadar kedaruratan tersebut. Tidak boleh memanfaatkan
khamr untuk tujuan pengobatan dan yang lainya karena Allah SWT tidak menjadikan
kesembuhan kita pada sesuatu yang Dia haramkan atas kita.(Az-zuhaili, 2007:437)
3. Ijma’ Sumber Hukum Pidana Ketiga
Dalam
hal pencurian, madzhab empat sepakat bahwa pencurian terhadap barang yang tidak
dari tempatnya((hiriz) tidak dapat diancam dengan hukuman potong tangan,
melainkan hukuman ta’zir. Misalnya, seorang pencuri binatang yang akan kembali
ke kandangnya dan masih di jalan serta tidak ada penggembalanya.
Jumhur
ulama mengatakan bagian dari tangan yang dipotong mulai dari pergelangan tangan
berdasarkan hadis yang menyatakan bahwa Rasulullah memotong tangan pencuri dari
pergelangan tanganya. Ada sejumlah ulama yang berpendapat hanyalah jari jemari
tangan saja.
Sedangkan
bagian kaki yang dipotong menurut jumhur ulama adalah dari pergelangan kaki.
Setelah dipotong menurut sunnah tangan atau kaki yang dipotong dikalungkan
kelehernya, hal itu dilakukan supaya membuat efek jera dan takut kepada
orang-orang. (Az-Zuhaili, 2007: 376)
4. Qiyas Sumber HukumPidana Keempat
Adalah menyamakan hukum suatu hal yang tidak
terdapat ketentuannya di dalam Al-qur’an maupun hadis karena persamaan illat.
Sebagai contoh dalam surat Al-Maidah ayat 90 yang melarang untuk meminum
khamar.yang menyebabkan minuman itu dilarang adalah illat-nya yakni memabukkan.
Sebab minuman yang memabukkan, dari apapun ia dibuat, hukumnya sama dengan
khamar yaitu dilarang untuk diminum. Dan untuk menghindari akibat buruk meminum
minuman yang memabukkan itu, maka dengan qiyas pula ditetapkan semua minuman
yang memabukkan , apapun namanya , dilarang diminum ,dan diperjual belikan
untuk umum(Ali, 2006:120-121).
Contoh lain seperti Korupsi diqiyaskan dengan
pencuri karena persamaan illat yaitu sama-sama merugikan dan melanggar hak
manusi.
B. Macam-macam Metode Ijtihad Sebagai Sumber Hukum
Pidana Islam
1. Istihsan
Istihsan
secara sederhana dapat diartikan sebagai berpaling dari ketetapan dalil khusus
pada ketetapan dalil umum. Dengan kata lain, meninggalkan satu dalil beralih
pada dalil yang lebuh kuat, atau hal ini dilakukan untuk memilih yang lebih
baik demi kemaslahatan dan tujuan syariat. Contoh kasus dalam pidana hukum
islam yaitu petetapan hukum bahwa tidak dipotongnya tangan pencuri yang mencuri
di masa paceklik sebagai pengecuali dari keumuman surat Al-Maidah:38 . apabila
seseorang melakukan pencurian dan memenuhi syarat untuk dikenakan hukuman
potong tangan maka berlaku baginya hukuman itu. Namun, bila pencurian itu
dilakukan pada masa paceklik, maka hukuman itu tidak diberlakukan, karena dalam
kasus ini berlaku hukum khusus(Abdullah, 2007:126).
2. Maslahah mursalah
Metode
ini adalah salah satu cara dalam menetapkan hukum yang berkaitan dengan
masalah-masalah yang ketetapanya yang tidak disebutkan dalam nash dengan
pertimbangan untuk mengatur kemaslahatan hidup manusia.
Diantara
syari’at yang diwajibkan untuk memelihara akal adalah kewajiban untuk
meninggalkanminum khamr dan segala sesuatu yang memabukkan. Begitu juga memberi
hukuman bagi yang meminumnya.
Diwajibkan
untuk memelihara jiwa adalah kewajiban untuk berusaha memperoleh makana,
minuman, dan pakaian untuk mempertahankan hidupnya. Begitu juga kewajiban
mengqisas atau mendiat orang yang berbuat pidana.
Diwajibkan
untuk memelihara keturunan adalah kewajiban untuk menghindarkan diri dari
berbuat zina. Begitu juga hukuman yang dikenakan kepada pelaku zina, laki-laki
atau perempuan.
Sebagiamana
sudah dijelaskan dalam Al-Qur’an adanya hukuman potong tangan bagi pencuri,
hukuman jilid dan rajam bagi pezina, adanya qishas dalam pembunuhan. Semua itu
untuk kemaslahatan manusia agar terpeliharanya jiwa, harta, agama, akal, dan
keturunan.
3. Saddu Al-Zariah
Adalah
melaksanakan pekerjaan yang semula mengandung kemaslahatan menuju kerusakan.
Dalam kaitanya dengan pendekatan saad dzariah, pada hakikatnya semua hal yang mengakibatkan
kemadharatan harus dihindarkan.
Contoh
dalam kasus pidana berdasarkan kesepakatan para imam madzhab empat, secara
syara’ wajib menghukum qishas sekelompok orang karena membunuh satu orang.
Karena jika mereka tidak diqishas semuanya, tentunya itu akan berdampak
pelaksanaan hukum qisas tidak bisa dilakukan. Sebab jika demikian, tindakan
pembunuhan dengan cara dilakukan secara bersama-sama akan dijadikan sebagai
trik dan rekayasa untuk terhindar dari jeratan hukuman qishas (Azzuhaili,
2007:564-565).
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Jinayah
menurut syari’at islam ialah segala tindakan yang dilarang oleh hukum syariat untuk
melakukannya yakni perbuatan itu harus dihindari. Islam meletakkan penghormatan
terhadap jiwa, sehingga tidak ada seorangpun yang meremehkan masalah ini.
Selain menghormati jiwa, islam pun memandang berbagai aspek yang berhubungan
dengan kemaslahatan umat banyak, sehingga jelaslah untuk dipelajari dan
digunakan dalam tata cara kehidupan.
Dari
uraian pembahsan , dibahas bagaimana Allah SWT memperhatikan segala aspek kehidupan
hamba-Nya, begitupun dalam hadis, sehingga lahirlah ijtihad yang memunculkan
secara praktis teoritis tentang pentingnya fiqih jinayah. Inilah yang
menjadikan dasar-dasar syara’ menghargai fiqih jinayah dan kegunaanya.
B. Saran
Sudah
seharusnya kita mempelajari fiqh jinayah secara kontekstual, yaitu disesuaikan
dengan zaman, budaya, dan latar belakang. Kita tidak boleh mengambil keputusan
yang sama padahal sebab yang ada itu berbeda. Jadi harus benar-benar teliti dan
mempertimbangkannya secara bijaksana menurut hukum islam.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah,
Sulaiman. Sumber Hukum Islam. Jakarta: Sinar Grafika. 2007.
Az-zuhaili,
Wahbah. Fiqih Islam waadillatuhu. Depok: Gema Insani. 2007.
Hasan,
Mustafa, Beni Ahmad Saebani. Hukum Pidana Islam Fiqih Jinayah. Bandung:
CV Pustaka Setia. 2013.
Ali,
Mohammad Daud. Hukum Islam. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.2006.
Syarifuddin,
Amir. Garis-Garis Besar Fiqih. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
2003.
Sangat membantu
BalasHapusGood dah